Kamis, 15 Desember 2011

Petualangan Etika Abad XX



Etika Max Scheler adalah etika nilai. Nilai itu bersifat material dan apriori. Nilai itu material karena nilai itu mempunyai isi atau kualitas, dan nilai itu apriori karena nilai itu telah ada dan didapat sebelum pengalaman terjadi (aposteriori). Pengalaman hanya menjadi sebuah sarana realisasi nilai-nilai. Lebih lanjut, manusia dalam hidupnya mencari nilai-nilai tertinggi dalam hidupnya dan bukan manusia pembuat nilai itu. Ia mendapat nilai-nilai itu dari fenomenologi atau realitas yang ada karena nilai-nilai itu menampakkan dirinya. Cara menangkap nilai itu bukan dengan pikiran tetapi dengan perasaan intensional. Konsekuensi dari pencarian nilai itu adalah pencarian nilai-nilai dalam manusia melahirkan kewajiban untuk mencapai nilai.
Etika Jean Paul Sartre adalah etika eksistensialis. Etika eksistensialis merupakan sebuah etika yang memandang pribadi manusia sebagai subyek bukan obyek. Sartre melihat bahwa ada dua dimensi dalam moralitas yaitu keterarahan pada orang lain dan tanggung jawab. Manusia yang selalu terarah pada orang lain melakukan sikap yang seharusnya pada orang lain. Sikap seharusnya ini merupakan wujud tanggungjawab dalam etika. Bagi Sartre, pribadi manusia dipandang sebagai pribadi yang unik. Unik berarti aku lain dari yang lain. Aku ada untuk bukan karena orang lain menganggap aku ada, tetapi karena aku ada sepenuhnya. Jika aku ada karena orang lain menganggap aku ada, maka aku adalah obyek dan orang lain mencuri dunia dari aku untuk dijadikan sebgai konsep atau pikiran mereka. Oleh karena itu, aku bertanggung jawab atas diriku sendiri
Etika Emmanuel Levinas adalah etika tanggung jawab pada orang lain. Levinas berbeda dengan pemikir etika yang lain. Levinas tidak bertanya tentang prinsip-prinsip moral yang ada, tetapi tentang sebuah sikap manusia yang didorong oleh sebuah simpul etis. Simpul etis merupakan tanggung jawab terhadap sesama. Tanggung jawab terhadap sesama merupakan tanggung jawab primordial. Tanggungjawab primordial ini ingin menunjuk kepada kesadaran manusia yang tenggelam dalam hiruk pikuk kesibukan sesaat. Kesadaran yang dimaksud Levinas adalah kesadaran sehari-hari manusia dalam segala pengalaman aktifitasnya yang terus berulang sehari-hari. Akibat dari kesibukan sesaat adalah manusia lupa akan perhatian dan keprihatinannya kepada sesama (manusia lupa akan sekitarnya).
Etika Joseph Fletcher adalah etika situasi. Etika situasi merupakan etika yang menekankan bai dan buruknya suatu tindakan berdasarkan situasi yang ada saat itu. Fletcher menolak norma-norma moral umum yang bersifat obyektif. Norma-norma moral umum ini menimbulkan kewajiban moral. Bagi Fletcher, moral tergantung dari situasi konkret tertentu yang unik dan tidak akan terulang. Moralitas merupakan tanggung jawab masing-masing pribadi dan yang mengetahui baik-buruknya moral hanya orang itu sendiri dan situasi dimana ia berada saat itu. Contohnya adalah berbohong itu baik atau buruk tergantung dari situasi tertentu. Oleh karena itu, norma moral harus dilakukan dan dipertanggungjawabkan dengan cinta kasih.
Etika Hans Jonas dikenal sebagai etika kepedulian akan masa depan. Hans Jonas berpendapat bahwa gaya hidup manusia dapat mengancam kelanjutan kehidupan manusia di masa depan. Gaya hidup yang dimaksud adalah usaha manusia untuk pemenuhan kebutuhannya dan usaha untuk mengatasi keterbatasannya. Cara manusia memenuhi kebutuhan dan mengatasi keterbatasannya adalah dengan menciptakan teknologi. Akan tetapi, manusia saat ini tidak dapat lagi mengendalikan teknologi sehingga muncul suatu kekawatiran dan ketakutan bahwa teknologi dapat merusak alam dan membunuh manusia. Hans Jonas menekankan sebuah sikap tanggung jawab atas keutuhan kondisi-kondisi manusia di masa depan. Ia mengajak pada pada semua orang untuk berpikir situasi masa depan. Dia mengajak manusia untuk mempunyai sikap takut dengan membayangkan kengerian di masa depan. Oleh karena itu, manusia yang hidup saat ini harus mengubah cara hidupnya.   
Etika Alasdair Macintyre sering disebut sebagai etika pembalikan terhadap etika pencerahan. Bagi Macintyre, masa pencerahan telah gagal memberi rasionalitas pada moralitas. Rasionalitas yang dimaksud adalah manusia dengan kemampuan akal budinya telah membuang atau melupakan teleologis atau tujuan manusia. Hal yang seharusnya terjadi adalah manusia dengan kemampuan rasionalnya mampu mencapai tujuan hidupnya. Akibatnya manusia tidak mengikuti norma-norma sebagai sarana untuk mencapai tujuan. Maka pertanyaan yang muncul adalah aku ingin manjadi manusia macam apa? Pemikiran Macintyre mengisyaratkan bahwa etika dan manusia saat ini harus kembali ke teleologisnya dengan menjadi manusia utama. Etika adalah soal ajaran tentang cara hidup manusia untuk mencapai diri secara utuh dan etika harus kembali pada keutamaan manusia. Nilai-nilai moral harus dipatuhi manusia untuk dapat mencapai tujuannya. Nilai-nilai moralitas mendapat rasionalitasnya di dalam budaya, karena rasio moralitas ada di dalam setiap budaya manusia hidup. Oleh karena itu, jadilah manusia utama dengan rasio moralitas yang ada dalam setiap budaya.
Etika Jurgen Habermas dikenal sebagai diskursus. Habermas berpendapat bahwa nilai moral bersifat obyektif bukan karena kesadaran manusia tetapi karena moral dilegitimasikan secara rasional. Legitimasi rasional itu mengandaikan dengan adanya kesepakatan antar individu. Kesepakatan antar individu disebut sebagai inter subyektif. Kesepakatan itu harus bebas dari paksaan atau intervensi dari pihak tertentu. Tujuannya adalah memastikan moralitas dapat dipertanggungjawabkan secara rasional oleh manusia. Oleh karena itu, moralitas manusia merupakan sebuah kesepakatan yang didasarkan pada kebebasan rasionalitas manusia yang dapat dipertanggungjawabkan.

Tanggapan dan refleksi    
            Tokoh-tokoh etika di atas adalah tokoh-tokoh etika abad ke dua puluh. Etika abad dua puluh dikenal sebagai etika kontemporer. Pola pemikiran etika abad kontemporer berbeda dengan etika abad moderen. Para tokoh etika moderen menitik akal budi dalam teori etika. Akan tetapi, para tokoh etika kontemporer menitikberatkan pada kesadaran diri dan tanggungjawab sesama. Mereka lebih banyak menentang pemikiran etika moderen khususnya pemikiran etika Imanuel Kant yang lebih banyak berbicara tentang imperatif kategoris dan kewajiban seseorang melakukan sesuatu.
            Pemikiran tokoh etika di atas yang menjadi minatku dan perhatianku adalah Max Scheler dengan etika nilainya. Pendapatku adalah manusia selalu mencari nilai dalam hidupnya. Nilai itu dijadikan tiap pribadi sebagai pegangan dan tujuan dalam hidupnya. Akan tetapi, kadang-kadang nilai itu belum menampakkan sehingga tiap pribadi berusaha mencapai nilai itu. Pencarian itu merupakan sebuah kewajiban diri dan kewajiban diri merupakan sebuah komitmen diri. Oleh karena itu, butuh sebuah kesadaran diri tentang pencarian nilai.
            Etika nilai Max Scheler sangat dibutuhkan saat ini. Kehidupan manusia terasa mekanis tanpa ada nilai-nilai yang hidup dalam diri pribadi manusia. Di sisi lain, nilai-nilai telah mengalami degaradasi nilai karena masyarakat mengabaikan nilai dan menganggap nilai sebagai sesuatu yang tradisional, yang tidak berlaku lagi. Hasilnya orang hidup dalam utopia atau tidak tahu harus melangkah dan banyak contoh korupsi yang terjadi saat ini. Oleh karena itu, manusia perlu mencari nilai-nilai dalam hidupnya sehingga mempunyai tujuan dan kewajiban untuk mencari nilai-nilai yang terbaik dalam hidupnya.

Sumber: Suseno, Franz Magnis, Etika Abad Kedua Puluh, Yogyakarta: Kanisius: 2006.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar