Kamis, 15 Desember 2011

St. Augustine’s Cosmology: Creatio ex Nihilo


Kosmologi adalah sebuah cabang ilmu filsafat yang mempelajari alam semesta sebagai suatu system yang rasional dan teratur.[1] Penjelasan dalam kosmologi menggunakan term-term metafisika untuk menjelaskan atau mempertanyakan asal, kekekalan, sifat-sifat alam semesta dan sebagainya. Adanya penjelasan atau pertanyaan tentang asal alam semesta menunjukkan bahwa alam semesta itu dinamis, karena ada pergerakan perubahan yang diiringi oleh waktu.
Kosmologi telah ada sejak sejak zaman Yunani kuno. Para filsuf pada zaman itu menggunakan kosmologi untuk menjelaskan mitos-mitos pada zamannya secara rasional. Thales adalah filsuf Yunani kuno pertama yang menjelaskan mitos secara rasional. Ia berpendapat bahwa air merupakan arche dari seluruh alam semesta. Dalam perkembangannya, kosmologi masih menjadi pokok bahasan yang menarik hingga saat ini.
Santo Agustinus (354 - 430 M) adalah seorang filsuf dan teolog yang hidup pada zaman awal abad pertengahan tepatnya pada zaman bapa-bapa Gereja. Ia  memiliki ajaran tentang kosmoslogi. Secara umum, ajaran Santo Agustinus mengadopsi ajaran Plato. Perbedaannya adalah ajaran Plato berhenti pada ide-ide yang ada di Topos Uranos, sedangkan ajaran Agustinus berpusat pada relasi dengan Tuhan.[2] Santo Agustinus ingin mencari keberadaan Tuhan dalam ajarannnya. Santo Agustinus mencoba untuk menggabungkan atau mengawinkan antara ajaran Plato dengan ajaran iman Kristiani.
Pokok ajaran kosmologi Santo Agustinus adalah penciptaan dunia dari ketiadaan atau kekosongan (creatio ex nihilo). Secara umum, ajarannya ini ingin menunjukkan bahwa alam semesta diciptakan oleh Tuhan dari sebuah ketiadaan. Ketiadaan atau kekosongan ini dimengerti sebagai suatu keadaan yang tidak teratur dan tidak berbentuk. Tuhan sungguh menciptakan alam semesta dari tidak ada menjadi ada.
Dalam pembahasan tema penciptaan ini, penulis mengacu pada salah satu karya Santo Agustinus yaitu ”Confessions” versi Indonesia. Tema penciptaan ini terdapat dalam kitab XI dan XII. Penulis juga memakai sumber-sumber lain untuk memperjelas alur pemikiran Santo Agustinus tentang kisah penciptaan ini.

Latar Belakang Pemikiran Creatio ex Nihilo
Pemikiran Santo Agutinus tentang penciptaan tidak lepas dari para pemikir sebelumnya yang juga berpikir tentang penciptaan dunia. Ada dua hal yang mempengaruhi pemikiran Santo Agustinus. Pertama,  ia hidup pada zaman yang kuat akan ajaran paganisme dan arianisme. Kedua, ia pernah menjadi seorang anggota Manikheis. Dua pengaruh inilah yang membuat Santo Agustinus untuk mencari kebenaran tentang penciptaan dunia.
Plotinus, seorang pemikir pagan menjelaskan penciptaan dunia dengan teori emanasi. Teori emanasi adalah teori yang menjelaskan bahwa penciptaan dunia terjadi karena Tuhan mengurangi atau merubah dirinya sendiri menjadi dunia. Sifat Tuhan meleleh menjadi alam semesta. Tuhan bukanlah sebuah prinsip free act yang menciptakan alam semesta. Tuhan hanya ditempatkan sebagai postulat dalam pikiran yang harus mereduksi dirinya sendiri.
Santo Agustinus melihat kesalahan dalam teori emanasi ini. Ia melihat bahwa Tuhan dalam teori emanasi ditempatkan sebagai sebuah materi yang meleburkan diri untuk menciptakan hal lainnya. Tuhan adalah hal yang spiritual yang melebihi materi. Ia merupakan free act dalam menciptakan alam semesta. Oleh karena itu, ia menyatakan bahwa Tuhan menciptakan dari ketiadaan menjadi ada, bukan Tuhan yang meleburkan diri untuk menghasilkan sesuatu.
Santo Agustinus lalu mencari pembuktian tentang pendapatnya ini. Ia menemukan pembuktian teorinya lewat Kitab Kejadian bab I bukan pada ajaran neo-platonisme. Kitab kejadian merupakan salah satu kitab dalam Perjanjian Lama (Old Testament) yang masuk dalam kumpulan kitab Torah atau Pentateuk. Pada bab satu dan dua dalam kitab ini memang berisi tentang kisah penciptaan. Santo Agustinus lebih khusus menafsirkan kisah penciptaan kitab kejadian bab 1.

In the beginning God created the heavens and the earth.
 Now the earth was a formless void,
there was darkness over the deep,
 and God’s spirit over the water” (Gen 1:1-3)

Ada dua kerangka besar pemikiran dalam kitab kejadian ini. Pertama adalah pada sabda ” In the beginning God created the heavens and the earth dan kedua adalah adalah “Now the earth was a formless void, there was darkness over the deep, and God’s spirit over the water”. Dua kerangka ini harus dilihat sebagai sebuah kesatuan, karena saling terkait satu sama lain. Dua kerangka ini ada untuk sedikit mempermudah penjelasan dalam kisah penciptaan. Oleh karena itu, pemikiran Santo Agustinus tentang penciptaan dari ketiadaan atau kekosongan merupakan refleksi filosofi atas kitab kejadian bab satu.
Bagian kerangka pikir pertama terdapat dalam dalam Kitab Confessions bab XI yang menekankan soal waktu dan keabadian dalam penciptaan. Waktu dan keabadian melibatkan urutan dalam penciptaan dan sifat dari ciptaan tersebut. Bagian kerangka pikir kedua terdapat dalam Kitab Confessions bab XII yang menekankan soal materi pembentuk dari langit dan bumi. Secara umum, materi ini bukanlah benda materi tetapi benda immateri yang diciptakan oleh Tuhan.
Dalam paper ini, penjelasan tentang kisah penciptaan akan fokus pada kerangka pikir bagian kedua. Kerangka pikir pertama dalam kisah penciptaan akan digunakan sebagai pelengkap untuk sebuah kesatuan dalam kisah penciptaan ini.

Penciptaan dalam Kitab Confessions

”Engkaulah yang dipuji oleh semua hal itu sebagai Pencipta semua hal. Tetapi, bagaimana Engkau menjadikannya? Bagaimanakah, ya Allah, telah Kaujadikan langit dan bumi? Pasti bukanlah di langit ataupun di bumi Kaujadikan langit dan bumi, bukan pula di udara atau di dalam air, sebab hal-hal ini pun termasuk langit dan bumi. Bukanlah di jagat raya Kaujadikan jagat raya, sebab jagat raya tadinya tidak ada sebagai tempat ia dapat dijadikan, sebelum ia ia dijadikan sehingga ada.....”[3]

Kutipan di atas adalah awal pemikiran pemikiran Santo Agustinus tentang penciptaan dalam Confessiones. Kutipan di atas menunjukkan bahwa langit dan bumi tidak diciptakan di bumi atau langit dan dari bahan-bahan yang ada di bumi atau langit. Bumi dan langit tidak dibentuk dari air yang menjadi bagian dari bumi. Bumi diciptakan di suatu tempat lain.
Langit, bumi, dan jagat raya diciptakan oleh Tuhan dalam suatu tempat atau entitas yang tidak kenal oleh waktu. Hal ini disebabkan karena Tuhan abadi. Keabadian Tuhan tidak terikat oleh waktu. Ia tetap sama baik pada masa lampau, sekarang dan selama-lamanya.[4] Ia berada di luar waktu. Oleh karena itu, Allah tidak menciptakan apa-apa sebelum menciptakan langit, bumi, dan jagat raya.[5]  

Itu bukan bentuk yang dapat ditanggap dengan pikiran saja, sperti halnya kehidupan, seperti halnya keadilan, sebab di sini urusannya dengan bahan baku baku benda-benda. Itu bukan pulabentuk yang dapat ditanggap dengan indera, sebab di dalam apa yang ’belum berbentuk’ dan ’kosong’ itu tidak ada yang dapat dilihat atau dirasakan[6]

Tuhan membuat langit dan bumi dari materi tanpa bentuk.[7] Materi itu ciptaan Tuhan tetapi bukan materi yang dapat dipegang, dirasa, dilihat, maupun dipikirkan. Hal ini mempunyai kaitan dengan kata ’tanpa bentuk’. ’Tanpa bentuk’ mempunyai suatu keadaan yang belum berbentuk dan kosong. Oleh karena itu, materi tanpa bentuk merupakan sesuatu yang diciptakan oleh Tuhan dalam keadaan tidak berbentuk dan kosong.  
Santo Agustinus memberikan analogi untuk mengerti materi tanpa bentuk. Materi tanpa bentuk diibaratkan bagai bunyi dan lagu. Bunyi telah ada sebelum lagu. Lagu terbentuk dari bunyi. Bunyi merupakan bahan baku dari lagu yang mendahului bentuk. Oleh karena itu, lagu itu berada dalam di dalam bunyinya sendiri karena bunyi itu telah mendapat bentuk supaya mendapat bentuk.[8]
Kaitan antara materi tanpa bentuk dengan analogi bunyi dan lagu adalah materi tanpa bentuk merupakan bahan baku dari langit, bumi, dan jagat raya. Materi ini telah ada sebelum bentuk sehingga tanpa bentuk  disebut sebagai suatu kedaan yang belum berbentuk dan kosong. Lebih jauh, materi membutuhkan bentuk-bentuk untuk membentuk benda-benda yang ada di langit, bumi, dan jagat raya ini.

Rationes Seminales
Kisah penciptaan dunia merupakan keseluruhan produk kegiatan Ilahi.[9] Hal ini disebabkan karena dalam penciptaan dari ketiadaan atau kekosongan Tuhan merupakan pencipta segala sesuatu. Alam semesta berasal dan bergantung pada Tuhan. Tuhan dengan kreatifitasnya menciptakan langit dan bumi serta segala hal yang ada di dalamnya.
Kisah penciptaan dari ketiadaan atau kekosongan mengenalkan kita pada ajaran rationes seminales atau benih-benih pikiran. Rationes seminales merupakan benih dari sesuatu yang berkembang dalam rangkaian waktu yang tidak kelihatan, penuh potensi, dan penyebab dalam segala sesuatu yang telah dibuat untuk menjadi tetapi tidak harus dibuat.[10] Rationes seminales ini memakai analogi benih yang terus bertumbuh dan berkembang. Rationes seminales mengandaikan adanya ’benih’ yang belum sempurna dari kemanjuran penciptaan.[11]
Rationes seminales ini mempunyai kaitan dengan kitab kejadian dan kitab confessions. Rationes seminales dalam kitab kejadian adalah a formless void dan dalam kitab confessions adalah materi tanpa bentuk. Rationes seminales ini mengandaikan telah ada materi  sebagai bahan baku yang membutuhkan bentuk-bentuk lain untuk membuat benda-benda lain menjadi nyata. Distingsi atau pembedaan antara materi dan bentuk memberikan pernyataan bahwa bentuk merupakan sesuatu hal yang lebih penting daripada materi.
Menurut Santo Agustinus, ada dua macam pengertian tentang materi tanpa bentuk atau a matter formless void. Pertama adalah materi yang sungguh tidak mempunyai bentuk atau matter absolutly formless.[12]  matter absolutly formless mempunyai arti bahwa Tuhan menciptakan alam semesta dari materi yang sungguh tidak mempunyai bentuk atau ketiadaan atau kekosongan. Dalam confession Santo Agustinus menulis:

”Yang lain sedemikian tanpa bentuk, hingga tak mampu beralih dari satu bentuk apa pun ke bentuk lain apa pun, baik bentuk gerak, ataupun bentuk perhentian, sehingga akan dibuat takluk oleh waktu”[13]

Kedua adalah materi yang kekurangan bentuk atau matter with basic form.[14] Materi itu diciptakan oleh Tuhan dengan mempunyai bentuk dasar. Materi itu memerlukan bentuk yang lain agar semakin terbentuk dengan nyata. Materi dasar itu merupakan sesuatu yang telah menjadi. Dalam Confessions Agustinus menuliskan:

”Yang satu terbentuk sedemikian rupa hingga hal itu – tanpa sedikit pun berkurang pengamatannya, tanpa tersela oleh karena suatu perubahan bentuk – menikmati keabadian-Mu dan sifatMu yaitu bahwa Engkau tidak berubah-ubah.”[15]

Agustinus memakai dua pengertian di atas untuk menjelaskan materi tanpa bentuk. Tafsiran Santo Agustinus ini merupakan eksegese atas kerangka pikir kedua kitab kejadian. Oleh karena itu, pada kerangka pikir kedua formless dijelaskan sebagai sebuah kekosongan dari sebuah materi yang diciptakan oleh Tuhan.
Konsekuensi yang terjadi dalam kisah penciptaan dari ketiadaan atau kekosongan adalah Tuhan merupakan pencipta dari segala sesuatu. Deus Creator Omnium. Tuhan merupakan prinsip yang harus dan telah ada. Ia adalah abadi. Ia merupakan saat ini dan aktif dalam seluruh proses yang terjadi.[16] Ciptaannya tidak abadi karena segala ciptaannya keluar dan bergantung padaNya. Segala sesuatu dalam benda menemukan tindakannya (action) dan dirinya (being) dalam Tuhan. Oleh karena itu, harus ada dan hanya satu Tuhan dalam penciptaan karena dalam Tuhan segala sesuatu berada.

Tanggapan Penulis
Ada tiga tanggapan penulis terhadap pemikiran Santo Agustinus tentang creatio ex nihilo. Pertama adalah tidak adanya pembedaan yang tegas antara matter dan form. Santo Agustinus hanya menyebutkan materi tanpa bentuk. Konsep materi tanpa bentuk terlalu abstrak bagi pikiran manusia, sehingga pikiran manusia tidak dapat menggambarkan, membayangkan atau mengimajinasikan materi tanpa bentuk yang dimaksud oleh Santo Agustinus
Kedua adalah konsep penciptaan rationes seminales Santo Agustinus berbeda dengan konsep penciptaan Santo Thomas Aquinas. Teori Santo Thomas Aquinas adalah teori Hylomorphism. Teori  ini menekankan penciptaan dari satu matter dan satu form. Matter dan form adalah konsep metafisika dalam penciptaan yang sama-sama penting. Tidak ada benda nyata jika tidak mempunyai matter atau form. Matter dan form merupakan sebuah prinsip kesatuan yang harus ada dalam benda-benda realitas dunia.
Ketiga adalah permasalahan pada pengertian kedua kata formless. Materi itu diciptakan oleh Tuhan dengan mempunyai form atau bentuk dasar. Hal ini mempunyai pengertian bahwa materi itu mempunyai sifat yang abadi dengan Tuhan. Seharusnya, benda-benda atau segala sesuatu yang berasal atau ciptaan Tuhan tidak abadi. Apakah materi itu Tuhan sendiri atau sesuatu yang dekat dengan Tuhan yang mempunyai sifat yang sama yaitu abadi.



Sumber

Bagus, Lorens, Kamus Filsafat, Jakarta: Gramedia, 2005.

Copleston, Frederik, A Hostory of Philosophy, Vol.II, From Augustine to John Don Scotus, New York: Doubleday, 1993.

O’Connor ,D.J., A Critical History Of Western Philosophy, New York: The Free Press, 1964.

St. Agustinus diterjemahkan Arifin, Winarsih dan End, Dr. Th. Van den, Agustinus: Pengakuan-Pengakuan (terjemahan dari Confessiones), Yogyakarta: Kanisius, 2008.



[1] Lorens Bagus, Kamus Filsafat, Jakarta: Gramedia, 2005, hal. 499.
[2] Frederik Copleston, A Hostory of Philosophy, Vol.II, From Augustine to John Don Scotus, New York: Doubleday, 1993, hal. 74
[3] Confessions XI, V, 7.
[4]  Confessions XII, VII, 7.
[5]  Confessions XI, VI, 8.
[6]  Confessions XII, V, 5.
[7] Confessions XII, XII, 31.
[8] Confessions XII, XXIX, 40.
[9]  D.J. O’Connor, A Critical History Of Western Philosophy, New York: The Free Press, 1964, hal. 93.
[10]Rationes seminales are germs of things invisibly, potentially, causally in the way that things are made which are to be but have not yet been made.” Copleston, 1993, hal.76.
[11] D.J. O’Connor, 1964, hal. 96.
[12] Copleston, 1993 , hal. 75.
[13] Confessions, XII, XII, 5.
[14] Copleston, 1993 , hal. 75.
[15] Confessions, XII, XII, 5.
[16] D.J. O’Connor, 1964, hal. 96.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar