Lux in Mundum berarti cahaya dalam dunia. Tulisan-tulisanku ini merupakan paper-paper hasil studiku di Fakultas Filsafat Widya Mandala. Semoga tulisan-tulisan ini memberi setitik cahaya bagi dunia yang carut marut dan kesadaran tentang realitas yang ada. Indonesia..... terimalah sumbangan putra Bangsamu ini.
Kamis, 15 Desember 2011
Petualangan Etika Abad XX
St. Augustine’s Cosmology: Creatio ex Nihilo
Rabu, 14 Desember 2011
GOLPUT dan PARTISIPASI POLITIK ARISTOTELES (Refleksi Filsafat Sosial-Politik Tentang Cara Hidup Bersama)
Bab I
Pengantar
Golput atau golongan putih merupakan sebuah istilah atau jargon yang tidak asing bagi masyarakat Indonesia. Golput sering ditujukan kepada kelompok masyarakat yang tidak menggunakan hak pilihnya dalam pemilihan umum (Pemilu). Golput mencerminkan tidak adanya partisipasi rakyat terhadap kehidupan negara. Masyarakat mulai apatis dengan kehidupan bersama dalam masyarakat.
Menurut artikel ”Golput dan Alienasi Politik” yang ditulis oleh Burhanuddin Muhtadi, golput dalam pemilu 2009 makin besar.[1] Hal ini dapat terlihat data-data dalam pilkada (pemilihan kepala daerah) tingkat Provinsi dan Kabupaten yang mencapai angka empat puluh persen. Gejala golput pemilu 2009 dapat mulai terlihat dalam fenomena pemilu legislatif tahun 1999 dan pemilu tahun 2004. Pada pemilu leglislatif 1999, pemilih yang menggunakan hak pilihnya sekitar sembilan puluh dua persen (92%). Akan tetapi, pada pemilu leglislatif 2004 pemilih yang menggunakan hak pilihnya turun menjadi sekitar delapan puluh empat persen (84%).
Ada banyak penyebab masyarakat tidak menggunakan hak pilihnya. Salah satu penyebabnya adalah ketidakpercayaan masyarakat terhadap pemerintah dan sistem pemilu. Masyarakat merasa dibohongi oleh janji para calon pemimpin. Pemilu hanya alat atau sarana bagi calon pemimpin untuk memperkuat golongan atau kelompok tertentu tanpa memperhatikan keadaan masyarakat.
Fenemona golput memberikan sebuah wacana refleksi diri untuk melihat keadaan hidup masyarakat Indonesia saat ini. Golput memunculkan sekilas pertanyaan bagi kita yaitu masihkah manusia dapat disebut sebagai mahkluk sosial jika ia tidak berpartisipasi dalam kehidupan masyarkat? Pertanyaan itu muncul sebagai reaksi atas masyarakat yang mulai menutup mata akan kehidupan bersama masyarakat. Mereka hanya mementingkan kepentingan diri dan kelompok.
Latar belakang penulisan ini adalah penulis prihatin terhadap masyarakat tentang lunturnya sikap hidup bersama. Lunturnya sikap hidup bersama tidak sesuai dengan bentuk demokrasi Indonesia yang mengedepankan partisipasi rakyat dalam politik. Politik mempunyai arti soal kehidupan bersama. Oleh karena itu, pertanyaan umum yang harus dijawab adalah bagaimana cara kita dapat hidup bersama?
Secara garis besar paper ini dibagi menjadi empat bagian. Bagian pertama merupakan pendahuluan yang berisi latar belakang masalah dan penulisan paper ini. Bagian kedua berisi landasan teori partisipasi politik menurut Aristoteles. Bagian ini memberikan pendasaran filosofis tentang kehidupan bersama menurut pemikiran Aristoteles. Bagian ketiga merupakan analisa tentang cara hidup bersama lewat fenomena golput. Bagian keempat adalah kesimpulan sebagai jawaban tentang cara hidup bersama di Indonesia. Pada bagian iini juga terdapat tanggapan kritis penulis terhadap landasan teori dan fenomena yang diangkat oleh penulis.
Bab II
Kerangka Teori
Aristoteles adalah seorang filsuf besar pada zaman Yunani Kuno. Ia hidup pada abad ketiga sebelum masehi. Ia adalah murid Plato selama kurang lebih dua puluh tahun di Akademia Plato hingga Plato meninggal. [2] Akan tetapi, pemikiran Aristoteles berbeda dengan Plato. Aristoteles adalah seorang filsuf realis sedangkan Plato merupakan seorang filsuf idealis.
Salah satu sumbangan pemikiran Aristoteles kepada filsafat adalah filsafat politik. Filsafat politik Aristoteles merupakan sebuah ajaran tentang negara. Filsafat politiknya banyak dipengaruhi oleh ajarannya tentang etika individual. Ia menyajikan filsafat politik dalam salah suatu tulisan yang berjudul Politica.
Konsep negara Aristoteles adalah konsep negara kota atau polis atau civil state. Ada dua hal yang melatarbelakangi munculnya pemikiran konsep polis ini. Pertama yaitu penolakan atau ketidaksetujuan Aristoteles terhadap ajaran kaum sofis. Kaum sofis berpendapat bahwa negara didirikan berdasarkan adat kebiasaan dan bukan kodrat yang alamiah.[3] Sebuah negara didirikan atas kehendak sekelompok orang yang mempunyai kebiasaan tertentu yang sama. Ajaran kaum sofis ini mengisyaratkan bahwa negara merupakan alat untuk mencapai keinginan subyektif.
Akan tetapi, negara bagi Aristoteles bukan hanya sekedar instrument atau alat. Negara merupakan sebuah organisme yang anggota saling berelasi.[4] Relasi antar organisme mempunyai pola pertumbuhan dan perkembangan. Mereka saling terhubung satu sama lain sehingga muncul suatu komunitas organisme.
Kedua adalah manusia menurut kodratnya adalah mahkluk sosial atau zoon politikon.[5] Manusia membutuhkan satu sama lain. Hal ini terjadi tidak secara kebetulan dan terjadi secara alamiah. Hanya manusia yang dapat hidup bersama dan membentuk sebuah polis.
Kota dalam pengertian Aristoteles adalah sebuah spesies asosiasi yang ada demi kebaikan tertentu.[6] Kota merupakan sebuah asosiasi teringgi dan bersifat inklusif karena kota terarah pada kebaikan tertinggi dari segala kebaikan. Semua orang dalam kota melakukan tindakannya pada kebaikan tertinggi itu. Kebaikan tertinggi itu bersifat umum.
Jika kota merupakan sebuah asosiasi tertinggi, maka ada asosiasi lain yang ada di bawah kota. Asosiasi itu adalah keluarga dan desa. Keluarga merupakan asosiasi pertama yang dilembagakan secara ilmiah untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari secara berulang.[7] Akan tetapi, keluarga tidak dapat memenuhi keseluruhan kebutuhan manusia. Hal yang tidak dapat dipenuhi oleh keluarga adalah kebutuhan manusia untuk hidup bersama. Manusia dengan insting sosialnya membutuhkan kebersamaan social dan politis.[8]
Asosiasi kedua adalah desa. Desa merupakan asosiasi alami yang dibentuk oleh keluarga dari rumah tangga untuk pemenuhan sesuatu yang lebih dari sekedar pemenuhan sehari-hari yang berulang.[9] Keluarga-keluarga berkumpul untuk saling membantu dan melindungi. Bentuk nyata desa adalah kampung atau perkampungan. Manusia mulai dapat terpenuhi social dan politisnya, namun asosiasi ini masih terbatas untuk memenuhi kebutuhan tertinggi manusia.
Asosiasi ketiga adalah kota (polis). Polis merupakan asosiasi terakhir dan sempurna yang terbentuk dari sejumlah desa.[10] Polis merupakan tujuan terakhir dari semua asosiasi itu. Polis terbentuk secara alamiah karena asosiasi yang membentuk polis adalah alami. Tujuan terbentuknya Polis adalah untuk menjamin keberlangsungan hidup bersama.[11]
Semua manusia yang hidup dalam Polis adalah mahkluk politik. Manusia adalah mahkluk politik karena manusia dengan kemampuan akalnya yang rasional mampu mempertimbangkan dan memutuskan hal yang benar dan salah dari tindakan-tindakannya.[12] Akan tetapi, Arsitoteles secara tegas melakukan distingsi terhadap manusia yang hidup dalam Polis.
Dua kelompok itu adalah kelompok ‘manusia lengkap’ dan kelompok ‘ manusia tidak lengkap’. Inti dari pembedaan dua kelompok manusia itu adalah kemampuan akal manusia yang telah sempurna dan kemampuan partisipasi pada politik. Pada kelompok ‘manusia lengkap’, manusia ini mempunyai kualitas mahkluk politik dan mahkluk social.[13] ‘Manusia lengkap’ mampu berpikir secara dewasa. Ia juga mampu berbahasa dan berargumen dengan baik sebagai usaha mengkomunikasikan ide dalam pikirannya kepada sesamanya. Manusia yang masuk dalam kelompok ‘manusia lengkap’ ini adalah laki-laki dewasa.
Sisi lain, manusia yang masuk dalam kelompok manusia tidak lengkap adalah wanita, anak-anak, dan budak. Mereka masuk kelompok ‘manusia tidak lengkap’ karena mereka tidak punya cara untuk berpartisipasi secara penuh dalam politik. Anak-anak punya pertimbangan tetapi belum matang. Wanita juga mempunyai pertimbangan tetapi dalam bentuk yang berkuasa.[14] Akan tetapi, bila wanita diisinkan dalam partispasi politik, maka wanita busa merusak konstitusi dan kebahagiaan kota. Hal ini terjadi karena wanita hidup dalam segala jenis kebebasan kebebasan dan kemudahan yang tidak berguna dan mengundang banyak kekacauan.[15]
Budak sama sekali tidak mempunyai kemampuan pertimbangan yang mendalam.[16] Budak merupakan seorang yang ditaklukkan oleh kekuatan dan kekuasaan. Hal ini dapat ketika perang, bahwa salah satu pihak yang kalah harus menjadi budak bagi pihak yang menang. Oleh karena itu, budak merupakan suatu barang hak milik bagi tuannya. Mereka hanya menjadi pelayan bagi tuannya.
Aristoteles juga memberikan definisi tentang warga negara. Pengertian warga negara ini sangat terkait dengan konstitusi dan bentuk negara yang ada. Warga negara merupakan seorang yang turut serta dalam administrasi keadilan dan pemangku jabatan.[17] Ada partisipasi aktif dari warga negara untuk berpartisipasi aktif dalam tugas publik dan pelaksanaan politik.
Pendapat ini ingin menepis tentang pengertian warga negara yang salah. Pengertian warga negara yang salah adalah menjadi residen di sebuah tempat tertentu atau orang yang memiliki hak legal karena kontrak komersial.[18] Jika hal ini terjadi, maka orang asing dan budak dapat menjadi warga negara yang legal dalam polis tertentu. Polis yang ada bukan lagi polis yang terbentuk secara alami tetapi polis buatan manusia yang dibentuk dari kontrak komersialnya.
Pengertian warga negara di atas mengisyaratkan arti pentingnya sebuah negara bagi manusia. Manusia membutuhkan negara untuk merealisasikan potensi moral mereka.[19] Realisasi potensi moral membutuhkan aturan dan kontrol. Realisasi mencapai kesempurnaannya lewat sarana pelaksanaan hukum secara publik.
Aristoteles memberikan tiga bentuk negara yang sesuai dengan pengertian warga negara atau konstitusi. Tiga bentuk negara atau konstitus itu adalah monarki, aristokrasi dan ”Politea”. Monarki adalah sebuah bentuk konstitusi yang dipegang oleh satu orang yaitu raja. Monarki dapat sah apabila seorang raja memilki keunggulan di atas semua orang.[20] Akan tetapi, konstitusi monarki akan jatuh pada konstitusi nurani ketika konstitusi menemukan seorang raja yang unggul.
Konstitusi kedua adalah aristokrasi. Aristokrasi adalah sebuah konstitusi yang dipimpin oleh beberapa orang yang dianggap baik.[21] Konstitusi ini lebih baik daripada monarki karena para pemimpinnya mempunyai keutamaan intelektual dan moral. Kelemahan konstitusi kedua ini sama dengan monarki yaitu sulit menemukan orang-orang yang mempunyai kebaikan.
Konstitusi ketiga adalah politea atau pemerintahan konstitusional. Politea merupakan sebuah konstitusi yang dipimpin oleh kelas menengah.[22] Konstitusi ini paling baik dan ideal diantara dua konstitusi sebelumnya. Ada dua alasan konstitusi ini ideal. Pertama adalah kepemimpinan konstitusi ini kebijaksanaan kolektif. Setiap individu memerikan kontribusi yang sama dalam negara. Kedua adalah kepemimpinan konstitusi ini membutuhkan pendidikan dan pelatihan.[23] Tujuan dari pendidikan dan pelatihan adalah membentuk keahlian dalam memimpin. Akhirnya, tujuan politea adalah kebaikan bersama.
Bab III
Analisa Masalah
Penulis akan mencari penyebab terjadinya sebuah polis sebagai awal analisa ini. Empat penyebab itu antara lain adalah penyebab formal, penyebab material, penyebab efisien, dan penyebab final. Penyebab formal merupakan bentuk yang menyusun bahan. Penyebab material berhubungan dengan materi yang menyusun sesuatu. Penyebab efisien berhubungan dengan faktor yang menjalankan suatu kejadian. Penyebab final merupakan penyebab tujuan yang menjadi arah seluruh kejadian.[24]
Dalam konsep negara Aristoteles, polis merupakan penyebab formal. Polis harus mempunyai warga negara (penyebab material). Setiap warga negara dalam polis berpartisipasi dalam politik (penyebab efisien). Akhirnya, setiap tindakan partisipasi warga negara harus diarahkan pada kebaikan bersama atau bonum commune (penyebab final).
Analisa penyebab polis ingin menerangkan bahwa polis yang terbentuk secara alamiah mempunyai unsur-unsur yang dapat dijelaskan secara rasional dan logis. Unsur-unsur penyebab itu bersifat komprehensif utuh. Jika salah satu unsur dalam polis tidak ada atau tidak terpenuhi, maka konsep negara Aristoteles tidak dapat disebut sebagai polis.
Indonesia sebagai negara yang mengedepankan partispasi rakyat belum memadahi disebut polis. Fenomena golput adalah salah satu penyebab bahwa Indonesia belum layak disebut sebagai polis. Unsur penyebab yang tidak ada atau yang belum terpenuhi dalam Indonesia adalah unsur efisien. Negara Indonesia masih kurang dalam partisipasi rakyat dalam politik.
Unsur efisien yang tidak terpenuhi sangat berpengaruh terhadap unsur penyebab final. Pengaruhnya adalah kebaikan yang dituju bukan kebaikan bersama tetapi kebaikan pribadi atau kelompok. Warga negara yang golput mempunyai kebaikan sendiri yang melepaskan diri dari kebaikan bersama. Mereka tidak mentaati konstitusi atau aturan-aturan yang berlaku dalam negara.
Menurut Aristoteles, penyebab kurangnya partisipasi adalah warga negara tidak mempunyai keutamaan moral dan keutamaan intelektual. Keutamaan moral memungkinkan manusia memilih jalan tengah di antara dua ekstrem yang berlawanan.[25] Bentuk keutamaan moral adalah sebuah tindakan nyata yang didasarkan pada faktor-fakor pribadi. Tindakan memilih jalan tengah merupakan tindakan yang baik. Di sisi lain, keutamaan intelektual merujuk pada kemampuan rasional manusia untuk mengetahui kebenaran dan memutuskan suatu tindakan dalam keadaan tertentu.
Dua keutamaan ini wajib dimiliki oleh semua warga negara baik mereka yang memimpin maupun yang dipimpin. logika yang digunakan adalah seorang pemimpin datang dari rakyat. Ia dipilih menjadi pemimpin karena ia mempunyai kualitas lebih bila dibandingkan dengan rakyat yang lain. Pemimpin menjadi panutan dan teladan bagi rakyat yang dipimpinnya.
Situasi fenomena golput adalah pemimpin atau calon pemimpin tidak mempunyai kualitas keutamaan moral dan keutamaan intelektual. Hal ini mungkin terjadi karena para pemimpin dipilih karena kontrak komersial. Mereka menjadi pemimpin bukan karena kesadaran akan pentingnya hidup bersama. Ada dua implikasi utama dari situasi ini adalah masyarakat tidak percaya lagi kepada para pemimpin dan calon pemimpin dalam pemilu. Mereka beranggapan bahwa mereka hanya digunakan sebagai obyek untuk memenuhi ’kebaikan’ pemimpin saja. Akhirnya, mereka menjadi apatis terhadap pemimpin dan sikap hidup bersama.
Bab IV
Penutup
Kesimpulan
Kesimpulan yang dapat diperoleh dari analisa adalah warga negara membutuhkan keutamaan moral dan keutamaan intelektual dalam hidup bersama. Dua keutamaan moral ini dapat membantu manusia dan warga negara mencapai kebaikan bersama. Cara menumbuhkan dua keutamaan ini adalah warga negara harus diberi pendidikan dan pelatihan sebagai warga negara yang baik sejak kecil.
Tanggapan Kritis
Teori partisipasi politik tidak dapat diterapkan sepenuhnya dalam kehidupan Bangsa Indonesia. Ada beberapa faktor yang mempengaruhi, yaitu luasnya wilayah dan banyaknya penduduk negara Indonesia. Teori partisipasi politik ini hanya cocok diterapkan pada negara yang mempunyai luas wilayah yang tidak terlalu besar atau kecil dan jumlah penduduk yang terlalu banyak atau sedikit.
Faktor kedua adalah teori partisipasi ini meyimpan kesenjangan gender antara laki-laki dan perempuan. Kaum laki-laki dianggap lebih tinggi dariapada kaum perempuan. Jika hal yang dibutuhkan untuk menjadi warga negara adalah keutamaan moral dan intelektual, maka kaum perempuan dapat berpartisipasi penuh dalam politik.
Sumber Pustaka
- Aristoteles, Politik (diterjemahkan dari buku Politics, Oxford UniversityPress), Yogyakarta, Bentang Budaya, 2004.
- Bertens, K., Sejarah Filsafat Yunani, Kanisus, Yogyakarta, 1999.
- Klote, Yosef Keladu, Partisipasi Politik: Sebuah Analisa Atas Etika Politik Aristoteles, Maumere, Penerbit Ledalero, 2010.
- Revitch, Diane dan Thernstorm, Abigail (editor), Demokrasi Klasik dan Modern (terjemahan dari The Democracy reader: Classic and Modernn Speeches, Essays, Poems, Declaration, dan Document on Freedom and Human Rights Worldwide), Jakarta, Yayasan Obor Indonesia, 2005.
Sumber berita atau artikel
Burhanuddin Muhtadi, Golput dan Alienasi Politik, Sindo, 7 Januari 2009.
[1] Burhanuddin Muhtadi, Golput dan Alienasi Politik, Sindo, 7 Januari 2009. diakses pada tanggal 29 Mei 2011 pkl 16.00 WIB.
[2] Bertens, K., Sejarah Filsafat Yunani, Kanisus, Yogyakarta, 1999, hal. 154.
[3] Ibid. hal. 200.
[4] Klote, Yosef Keladu, Partisipasi Politik: Sebuah Analisa Atas Etika Politik Aristoteles, Maumere, Penerbit Ledalero, 2010, hal. 138.
[5] Bertens, K., Sejarah Filsafat Yunani, hal. 200.
[6] Aristoteles diterjemahkan oleh Saut Pasaribu, Politik (diterjemahkan dari buku Politics, Oxford UniversityPress), Yogyakarta, Bentang Budaya, 2004, hal.1 atau P 1252a1. Dalam tulisan selanjutnya sumber ini akan disebut sebagai ‘P’ yang diikuti dengan ayat yang ada dalam buku seperti pada baris kedua dalam footnote no. 5.
[7] P 1252b2
[8] Klote, Yosef Keladu, Partisipasi Politik: Sebuah Analisa Atas Etika Politik Aristoteles, hal 149.
[9] P 1252 b 17
[10] P 1252 b 27.
[11] Klote, Yosef Keladu, Partisipasi Politik: Sebuah Analisa Atas Etika Politik Aristoteles, hal 150.
[12] Ibid. hal 164.
[13] Ibid. hal 165.
[14] P 1259a32.
[15] P 1269 b 12.
[16] P 1259a32.
[17] P 1275d19.
[18] Klote, Yosef Keladu, Partisipasi Politik: Sebuah Analisa Atas Etika Politik Aristoteles, hal 171.
[19] Ibid. Hal 169.
[20] Revitch, Diane dan Thernstorm, Abigail (editor),Demokrasi Klasik dan Modern (terjemahan dari The Democracy reader: Classic and Modernn Speeches, Essays, Poems, Declaration, dan Document on Freedom and Human Rights Worldwide), Jakarta, Yayasan Obor Indonesia, 2005, hal.12
[21] Ibid.
[22] Klote, Yosef Keladu, Partisipasi Politik: Sebuah Analisa Atas Etika Politik Aristoteles, hal 190.
[23] Ibid. hal 191.
[24] Bertens, K., Sejarah Filsafat Yunani, hal. 174.
[25] Ibid. hal. 196.
Budaya Dialog: Obat Budaya Dominasi (Kajian budaya dialog multikulturalisme dalam perspektif histori agama di Indonesia)
Bangsa Indonesia adalah bangsa yang plural. Bangsa Indonesia memiliki keanekaragaman budaya, suku, ras, agama dan kepercayaan dalam warga negaranya. Setiap keanekaragaman yang ada memiliki keunikan yang membedakan keanekaragaman satu dengan keanekaragaman yang lainnya. Di sisi lain, keanekaragaman itu saling berhubungan dan saling mengisi satu sama lain yang membuat suatu keanekaragaman dapat tetap ada dan dapat berkembang.
Akan tetapi, pluralisme Bangsa Indonesia seakan sirna dengan adanya beberapa aksi kekerasan masa. Beberapa kekerasan yang patut menjadi perhatian bersama adalah kasus bentrok jemaat ahmadiyah dengan FPI di Pandeglang, Banten dan kasus perusakan gereja di Temanggung, Jawa Tengah.[1] Akibat dari kasus kekerasan itu adalah banyak korban yang terluka dan meninggal, serta rusaknya fasilitas tempat ibadah dan fasilitas umum. Bagi masyarakat umum, kehidupan bermasyarakat menjadi tidak lagi aman dan damai. Masyarakat mulai curiga satu sama lain dan saling menutup diri untuk melindungi dirinya sendiri.
Beberapa fenomena kekerasan di atas menunjukkan adanya budaya dominasi di Indonesia. Budaya dominasi merupakan sisi lain wajah pluralisme Bangsa Indonesia Indonesia. Budaya dominasi menunjukkan pada keinginan dan kekuatan suatu kelompok yang ingin berkuasa. Budaya dominasi juga menujukkan bahwa pluralisme bangsa Indonesia rentang terhadap tegangan-tegangan dominasi suatu kelompok tertentu.
Hal yang menjadi kegelisahan sekarang adalah dominasi yang terjadi saat ini dilakukan oleh kelompok orang-orang yang beragama. Hal yang lebih ekstrem dominasi dengan cara kekerasan dilakukan atas nama Tuhan. Agama bukan lagi sebagai sarana keselamatan bagi umat manusia, tetapi membawa kematian bagi umat manusia. Hal ini merupakan sebuah fenomena yang sungguh paradoks atau bertolak belakang dengan keberadaan agama.
Situasi di atas memunculkan sebuah pertanyaan penting yaitu bagaimana kita dapat hidup bersama di dalam keberagaman dalam masyarakat? Jawaban atas pertanyaan itu akan dikaji lewat historisitas perkembangan agama di Indonesia. Penulis merujuk historisitas perkembangan agama di Indonesia sebagai kerangka teori dari Buku ”Negara Paripurna” karangan Yudi Latif. Kerangka teori ini akan menjadi pisau bedah analisis dan memerikan wacana solusi atas pertanyaan di atas.
Perkembangan agama di Bangsa Indonesia[2]
Kemerdekaan Bangsa Indonesia tidak dapat dilepaskan dari sebuah sejarah yang panjang. Kemerdekaan Indonesia bisa tercapai atas berkat rahmat Tuhan Yang Maha Kuasa.[3] Hal ini terjadi karena Bangsa Indonesia mempunyai kesadaran bahwa Tuhan hadir dalam sejarah perkembangan Bangsa Indonesia. Tuhan adalah jiwa dalam setiap pergerakan kehidupan Bangsa Indonesia. Kehadiran Tuhan yang menjadi penggerak kehidupan Bangsa Indonesia termuat dalam pancasila sila ke satu.
Wujud konkret bahwa Bangsa Indonesia menyadari adanya Tuhan adalah dengan muncul sebuah kepercayaan yang dianut oleh masyarakat. Animisme dan Dinamisme merupakan kepercayaan tua Bangsa Indonesia. Animisme adalah kepercayaan bahwa setiap benda di bumi mempunyai jiwa atau roh yang harus dihormati. Dinamisme adalah segala sesuatu mempunyai tenaga atau kekuatan yang dapat mempengaruhi hidup manusia. Dua kepercayaan ini mengandaikan bahwa manusia bagian dari alam dan harus hidup sesuai dengan hukum alam.
Perkembangan lebih lanjut adalah masuknya agama-agama poleteisme(Hindu) dan monoteisme (Budha, Islam, Kristen) di Indonesia. Agama-agama yang masuk itu berinkulturasi dengan kepercayaan-kepercayaan lokal itu. Hasilnya adalah agama-agama itu menyesuaikan dogma agama dan kebiasan dengan kepercayaan lokal. Di sisi lain, kepercayaan lokal menjadi sebuah kepercayaan yang tersistemasi dengan adanya struktur hirarki yang ada dalam agama. Oleh karena itu, agama-agama hidup dalam kebiasaan kepercayaan lokal dan kepercayaan lokal hidup dalam dogma dan struktur hirarki agama.
Kehidupan agama khususnya agama Islam yang paling berpengaruh saat itu, mengalami tegangan dengan hadirnya bangsa koloni di Indonesia. Bangsa kolonial mendirikan pemerintahannya sendiri dan keebijakannya selalu merugikan rakyat. Kehadiran bangsa koloni dianggap sebagai penjajah oleh masyarakat Indonesia khususnya kelompok masyarakat yang berbasis agama. Lebih lanjut, masyarakat yang berbasis keagamaan berusaha melawan pemerintah kolonial yang ingin menjajah bangsa ini secara fisik. Perlawanan fisik kemudian berubah menjadi perang Ideologi antara ideologi berbasis agama dengan ideologi kolonial.
Perang ideologi ini membawa perubahan terhadap wajah agama. Agama menjadi mobilisasi politik.[4] Beberapa kelompok yang muncul seperti SI, merupakan gerakan sosial nasionalis yang berwarna agama. Ideologi yang diusung adalah ideologi agama. Ideologi ini berkembang tidak hanya untuk melawan kolonoalisme, tetapi juga sebagai gerakan sosial-politik dalam masyarakat. Perkembangan ini muncul kesadaran nasionalisme tua sebagai usaha penanaman ideologi-ideologi baru sosio-politik.[5] Tujuannya agar gerakan sosial memiliki mobilisasi sosial yang dapat dipahami secara baik oleh masyakarat.
Budaya dialog vs budaya dominasi kekerasan
Perkembangan sejarah agama di Indonesia menjukkan bahwa agama tidak hanya terlibat dalam urusan privat atau pribadi, tetapi juga terlibat dalam urusan publik.[6] Hal ini terjadi karena agama mempunyai kontrol sosial yang kuat. Kontrol sosial digunakan untuk mempengaruhi pengikutnya dan selalu diselipkan nama Tuhan sebagai fungsi kontrolnya. Hasilnya adalah banyak orang bertindak atas nama Tuhan dan agama.
Hal yang lebih menarik adalah agama saat ini hidup dalam kerangka masyarakat plural atau multikultural. Masyarakat multikultural merupakan karakteristik dari pluralitas budaya-budaya.[7] Karakteristik pluralitas budaya menyangkut soal aktifitas manusia, relasi sosial, dan hidup manusia secara umum. Pluralitas budaya ini sangat kuat dimensi sosial, karena dimensi sosial pluralitas budaya terkait dengan cara hidup bersama. Pluralitas budaya ingin menciptakan suatu keadaan masyarakat yang harmoni dan aman dengan saling menghargai satu sama lain.
Situasi ini seharusnya menjadi lahan yang subur bagi agama untuk sarana membangun keharmonisan hidup dalam masyarakat. Keharmonisan itu dibangun dengan dua jalan yang saling berpengaruh satu sama lain. Pertama adalah kepastian bahwa pengikut agama adalah masyarakat lokal yang mempunyai kepercayaan kepada yang transenden. Bagi mereka pengikut agama-agama, hasil dari kepercayaan kepada yang transenden terlihat pada kelakuan hidup sehari-hari. Kedua adalah agama sebagai kontrol sosial masyarakat memberikan pengaruh tentang cara hidup baik yang seharusnya di dalam masyarakat. Hasil dari dua jalan ini adalah keharmonisan bukan menjadi hal yang formalitas atau segala sesuatu disuruh oleh agama untuk berbuat baik tetapi juga merupakan sebuah kebutuhan dari setiap orang untuk dapat hidup bersama secara harmonis sebagai internalisasi iman kepercayaan kepada yang transenden.
Perkembangan lebih lanjut dari hal ini adalah sebuah kebiasaan untuk membangun budaya dialog antar agama. Salah satu faktor penting terjadinya kekerasan saat ini adalah kurangnya komunikasi antar budaya (antar agama) yang mengakibatkan agama angkuh terhadap hal yang ada di sekitarnya. Budaya dialog ini sebagai wujud komunikasi masyarakat pluralitas dan sebagai budaya tandingan bagi budaya dominasi bagi kelompok tertentu. Tujuan dari dialog sebagai komunikasi antar budaya adalah memahami dan bersikap kritis untuk mengantisipasi efek budaya negatif terhadap budaya sendiri.[8] Akhirnya, budaya dialog merupakan ”budaya dominasi” bukan seperti budaya dominasi oleh kelompok terntentu, yang mengarah kepada kebaikan mencapai keharmonian hidup masyarakat dengan saling menghargai perbedaan dan keragamaanya.
Sumber Pustaka
- Latif, Yudi; Negara Paripurna:Historitas, Rasionalitas, dan Aktualitas Pancasila; Gramedia Pustaka Utama: Jakarta, 2011.
- Maiz, Ramon dan Requejo, Ferran; Democracy, Nationalism, dan Multiculturalism; New York: FRANK CASS PUBLISHERS; 2005.
- Purwasito, Andrik; Komunikasi Multikural, Muhammadiyah University Press; Surakarta, 2003.
[1] http://arsipberita.com/show/negara-dinilai-melakukan-pembiaran-155640.html diakses pada tanggal 14 Maret 2011 pukul 16.15
[2] Ide penulisan pada bagian ini mengacu pada buku Negara Paripurna:Historitas, Rasionalitas, dan Aktualitas Pancasila karangan Yudi Latif hal.55-67.
[3] Yudi Latif, Negara Paripurna:Historitas, Rasionalitas, dan Aktualitas Pancasila, Gramedia Pustaka Utama: Jakarta, 2011, hal. 55.
[4] Ibid. hal.65.
[5] Ibid. hal. 63.
[6] Ibid. hal. 56.
[7] Ramon Maiz dan Ferran Requejo; Democracy, Nationalism, dan Multiculturalism; New York: FRANK CASS PUBLISHERS; 2005, hal. 13.
[8] Andrik Purwasito, Komunikasi Multikural, Muhammadiyah University Press, Surakarta, 2003, hal. 49.