Senin, 12 Desember 2011

Maling Ayam, Bayar Rp 18 Juta (?) (Tanggapan dan refleksi filsafat hukum terhadap kasus hukum di Indonesia)

Tanggal 7 Juli 2011 dalam berita republika online, ada sebuah berita tentang kasus peradilan hukum yang melibatkan dua anak SMP sebagai terdakwa. Kasus yang diberitakan adalah kedua anak itu dituduh oleh peternak ayam telah mencuri ayam dan menginjak anak ayam miliknya. Peternak ayam itu meminta ganti rugi sebesar Rp 18 juta dan melaporkan kasus ini kepada polisi.

Pengakuan atau pembelaan yang diajukan oleh kedua remaja itu berbeda dengan laporan peternak ayam. Salah seorang anak mengaku bahwa ia dan temannya sedang mencari burung merpati yang hilang. Ia mencari burung merpati hingga ke tempat peternakan ayam yang menjadi TKP. Saat mencari burung merpati yang hilang di sebuah kandang, ia tertangkap oleh peternak ayam itu. Pembelaan itu didukung oleh ibunya yang berpendapat sama dengan anaknya. Ibu itu juga menambahkan bahwa ia tidak mampu membayar ganti rugi yang diajukan oleh peternak itu. Ia berargurmen bahwa keluarganya adalah buruh tani dan tidak mampu membayar tuntutan dari peternak ayam itu.

Jaksa penuntut umum mengajukan pasal 363 KUHP kepada hakim dengan tuduhan pencurian. Menurut JPU, kedua terdakwa melakukan pencurian ayam milik Ibah, warga Desa Mekarjaya, Kecamatan Padakembang, Palembang. Pengadilan masih belum memutuskan perkara tersebut karena masih mengumpulkan berkas perkara. Hanya saja kedua remaja tadi sempat mendekam di penjara, namun diperbolehkan pulang lagi dengan wajib lapor kepada polisi setelah ada permintaan penangguhan penahan dari sang ibu.

Tanggapan dan analisa filsafat hukum

Perbuatan mencuri merupakan perbuatan yang dilarang dan perlu mendapat sanksi atau hukuman yang berlaku. Sanksi atau hukuman diberikan agar pelaku pencuri sadar dan jera dengan tindakannya. Akan tetapi, sanksi dan hukuman yang diberikan harus sesuai dengan beratnya tindakan yang telah dilakukan. Tidak mungkin seseorang yang berbuat pelanggaran dan kesalahan diberikan sanksi atau hukuman yang lebih berat atau lebih ringan dari tindakannya. Jika hal itu terjadi, maka terjadi sebuah ketimpangan hukum

Kasus di atas merupakan contoh ketimpangan hukum. Ketimpangan hukumnya terletak pada sanksi ganti rugi peternak ayam kepada dua remaja yang dituduh mencuri dan menginjak anak ayam. Peternak itu berpikir sebagai seorang pebisnis yang merugi karena (mungkin) matinya ternaknya. Tuntutan itu tidak sebanding dengan tindakan yang dilakukan oleh kedua remaja tadi dan belum terbukti kebenarannya. Sanksi itu menjadi tidak masuk akal, ketika sebuah kasus kecil tadi diperkarakan dalam sebuah persidangan.

Pendapat saya adalah pengadilan tidak seharusnya memberi hukuman kepada kedua remaja tadi dengan jeratan UU yang berlaku (meskipun belum ada putusan pengadilan). Ada dua alasan yaitu pertama karena kasus ini merupakan kasus kecil dan dapat diselesaikan secara kekeluargaan. Kedua adalah remaja tersebut masih di dalam bimbingan dan pengawasan orang tua. Jika ada hukuman bagi kedua remaja itu orang tua yang berhak memberi hukuman kepada kedua anak itu.

Pengadilan seharusnya menjadi wadah mediasi yang adil bagi pengusaha dan remaja itu. Pengadilan harus mempertimbangkan kembali sanksi tuntutan peternak ayam kepada kedua remaja itu dengan menjunjung nilai-nilai moral. Nilai-nilai moral yang diperjuangkan di sini adalah soal keadilan dan rasa nyaman sesorang dalam hidupnya. Dengan demikian, pengadilan tidak hanya menjadi ”tukang” eksekusi hukuman-hukuman.

Sumber artikel: http://www.republika.co.id/berita/regional/jawa-barat/11/07/07/lnyh1j-injak-anak-ayam-dua-bocah-diminta-ganti-rugi-rp-18-juta-dan-jadi-terdakwa

Tidak ada komentar:

Posting Komentar