Bangsa Indonesia adalah bangsa yang plural. Bangsa Indonesia memiliki keanekaragaman budaya, suku, ras, agama dan kepercayaan dalam warga negaranya. Setiap keanekaragaman yang ada memiliki keunikan yang membedakan keanekaragaman satu dengan keanekaragaman yang lainnya. Di sisi lain, keanekaragaman itu saling berhubungan dan saling mengisi satu sama lain yang membuat suatu keanekaragaman dapat tetap ada dan dapat berkembang.
Akan tetapi, pluralisme Bangsa Indonesia seakan sirna dengan adanya beberapa aksi kekerasan masa. Beberapa kekerasan yang patut menjadi perhatian bersama adalah kasus bentrok jemaat ahmadiyah dengan FPI di Pandeglang, Banten dan kasus perusakan gereja di Temanggung, Jawa Tengah.[1] Akibat dari kasus kekerasan itu adalah banyak korban yang terluka dan meninggal, serta rusaknya fasilitas tempat ibadah dan fasilitas umum. Bagi masyarakat umum, kehidupan bermasyarakat menjadi tidak lagi aman dan damai. Masyarakat mulai curiga satu sama lain dan saling menutup diri untuk melindungi dirinya sendiri.
Beberapa fenomena kekerasan di atas menunjukkan adanya budaya dominasi di Indonesia. Budaya dominasi merupakan sisi lain wajah pluralisme Bangsa Indonesia Indonesia. Budaya dominasi menunjukkan pada keinginan dan kekuatan suatu kelompok yang ingin berkuasa. Budaya dominasi juga menujukkan bahwa pluralisme bangsa Indonesia rentang terhadap tegangan-tegangan dominasi suatu kelompok tertentu.
Hal yang menjadi kegelisahan sekarang adalah dominasi yang terjadi saat ini dilakukan oleh kelompok orang-orang yang beragama. Hal yang lebih ekstrem dominasi dengan cara kekerasan dilakukan atas nama Tuhan. Agama bukan lagi sebagai sarana keselamatan bagi umat manusia, tetapi membawa kematian bagi umat manusia. Hal ini merupakan sebuah fenomena yang sungguh paradoks atau bertolak belakang dengan keberadaan agama.
Situasi di atas memunculkan sebuah pertanyaan penting yaitu bagaimana kita dapat hidup bersama di dalam keberagaman dalam masyarakat? Jawaban atas pertanyaan itu akan dikaji lewat historisitas perkembangan agama di Indonesia. Penulis merujuk historisitas perkembangan agama di Indonesia sebagai kerangka teori dari Buku ”Negara Paripurna” karangan Yudi Latif. Kerangka teori ini akan menjadi pisau bedah analisis dan memerikan wacana solusi atas pertanyaan di atas.
Perkembangan agama di Bangsa Indonesia[2]
Kemerdekaan Bangsa Indonesia tidak dapat dilepaskan dari sebuah sejarah yang panjang. Kemerdekaan Indonesia bisa tercapai atas berkat rahmat Tuhan Yang Maha Kuasa.[3] Hal ini terjadi karena Bangsa Indonesia mempunyai kesadaran bahwa Tuhan hadir dalam sejarah perkembangan Bangsa Indonesia. Tuhan adalah jiwa dalam setiap pergerakan kehidupan Bangsa Indonesia. Kehadiran Tuhan yang menjadi penggerak kehidupan Bangsa Indonesia termuat dalam pancasila sila ke satu.
Wujud konkret bahwa Bangsa Indonesia menyadari adanya Tuhan adalah dengan muncul sebuah kepercayaan yang dianut oleh masyarakat. Animisme dan Dinamisme merupakan kepercayaan tua Bangsa Indonesia. Animisme adalah kepercayaan bahwa setiap benda di bumi mempunyai jiwa atau roh yang harus dihormati. Dinamisme adalah segala sesuatu mempunyai tenaga atau kekuatan yang dapat mempengaruhi hidup manusia. Dua kepercayaan ini mengandaikan bahwa manusia bagian dari alam dan harus hidup sesuai dengan hukum alam.
Perkembangan lebih lanjut adalah masuknya agama-agama poleteisme(Hindu) dan monoteisme (Budha, Islam, Kristen) di Indonesia. Agama-agama yang masuk itu berinkulturasi dengan kepercayaan-kepercayaan lokal itu. Hasilnya adalah agama-agama itu menyesuaikan dogma agama dan kebiasan dengan kepercayaan lokal. Di sisi lain, kepercayaan lokal menjadi sebuah kepercayaan yang tersistemasi dengan adanya struktur hirarki yang ada dalam agama. Oleh karena itu, agama-agama hidup dalam kebiasaan kepercayaan lokal dan kepercayaan lokal hidup dalam dogma dan struktur hirarki agama.
Kehidupan agama khususnya agama Islam yang paling berpengaruh saat itu, mengalami tegangan dengan hadirnya bangsa koloni di Indonesia. Bangsa kolonial mendirikan pemerintahannya sendiri dan keebijakannya selalu merugikan rakyat. Kehadiran bangsa koloni dianggap sebagai penjajah oleh masyarakat Indonesia khususnya kelompok masyarakat yang berbasis agama. Lebih lanjut, masyarakat yang berbasis keagamaan berusaha melawan pemerintah kolonial yang ingin menjajah bangsa ini secara fisik. Perlawanan fisik kemudian berubah menjadi perang Ideologi antara ideologi berbasis agama dengan ideologi kolonial.
Perang ideologi ini membawa perubahan terhadap wajah agama. Agama menjadi mobilisasi politik.[4] Beberapa kelompok yang muncul seperti SI, merupakan gerakan sosial nasionalis yang berwarna agama. Ideologi yang diusung adalah ideologi agama. Ideologi ini berkembang tidak hanya untuk melawan kolonoalisme, tetapi juga sebagai gerakan sosial-politik dalam masyarakat. Perkembangan ini muncul kesadaran nasionalisme tua sebagai usaha penanaman ideologi-ideologi baru sosio-politik.[5] Tujuannya agar gerakan sosial memiliki mobilisasi sosial yang dapat dipahami secara baik oleh masyakarat.
Budaya dialog vs budaya dominasi kekerasan
Perkembangan sejarah agama di Indonesia menjukkan bahwa agama tidak hanya terlibat dalam urusan privat atau pribadi, tetapi juga terlibat dalam urusan publik.[6] Hal ini terjadi karena agama mempunyai kontrol sosial yang kuat. Kontrol sosial digunakan untuk mempengaruhi pengikutnya dan selalu diselipkan nama Tuhan sebagai fungsi kontrolnya. Hasilnya adalah banyak orang bertindak atas nama Tuhan dan agama.
Hal yang lebih menarik adalah agama saat ini hidup dalam kerangka masyarakat plural atau multikultural. Masyarakat multikultural merupakan karakteristik dari pluralitas budaya-budaya.[7] Karakteristik pluralitas budaya menyangkut soal aktifitas manusia, relasi sosial, dan hidup manusia secara umum. Pluralitas budaya ini sangat kuat dimensi sosial, karena dimensi sosial pluralitas budaya terkait dengan cara hidup bersama. Pluralitas budaya ingin menciptakan suatu keadaan masyarakat yang harmoni dan aman dengan saling menghargai satu sama lain.
Situasi ini seharusnya menjadi lahan yang subur bagi agama untuk sarana membangun keharmonisan hidup dalam masyarakat. Keharmonisan itu dibangun dengan dua jalan yang saling berpengaruh satu sama lain. Pertama adalah kepastian bahwa pengikut agama adalah masyarakat lokal yang mempunyai kepercayaan kepada yang transenden. Bagi mereka pengikut agama-agama, hasil dari kepercayaan kepada yang transenden terlihat pada kelakuan hidup sehari-hari. Kedua adalah agama sebagai kontrol sosial masyarakat memberikan pengaruh tentang cara hidup baik yang seharusnya di dalam masyarakat. Hasil dari dua jalan ini adalah keharmonisan bukan menjadi hal yang formalitas atau segala sesuatu disuruh oleh agama untuk berbuat baik tetapi juga merupakan sebuah kebutuhan dari setiap orang untuk dapat hidup bersama secara harmonis sebagai internalisasi iman kepercayaan kepada yang transenden.
Perkembangan lebih lanjut dari hal ini adalah sebuah kebiasaan untuk membangun budaya dialog antar agama. Salah satu faktor penting terjadinya kekerasan saat ini adalah kurangnya komunikasi antar budaya (antar agama) yang mengakibatkan agama angkuh terhadap hal yang ada di sekitarnya. Budaya dialog ini sebagai wujud komunikasi masyarakat pluralitas dan sebagai budaya tandingan bagi budaya dominasi bagi kelompok tertentu. Tujuan dari dialog sebagai komunikasi antar budaya adalah memahami dan bersikap kritis untuk mengantisipasi efek budaya negatif terhadap budaya sendiri.[8] Akhirnya, budaya dialog merupakan ”budaya dominasi” bukan seperti budaya dominasi oleh kelompok terntentu, yang mengarah kepada kebaikan mencapai keharmonian hidup masyarakat dengan saling menghargai perbedaan dan keragamaanya.
Sumber Pustaka
- Latif, Yudi; Negara Paripurna:Historitas, Rasionalitas, dan Aktualitas Pancasila; Gramedia Pustaka Utama: Jakarta, 2011.
- Maiz, Ramon dan Requejo, Ferran; Democracy, Nationalism, dan Multiculturalism; New York: FRANK CASS PUBLISHERS; 2005.
- Purwasito, Andrik; Komunikasi Multikural, Muhammadiyah University Press; Surakarta, 2003.
[1] http://arsipberita.com/show/negara-dinilai-melakukan-pembiaran-155640.html diakses pada tanggal 14 Maret 2011 pukul 16.15
[2] Ide penulisan pada bagian ini mengacu pada buku Negara Paripurna:Historitas, Rasionalitas, dan Aktualitas Pancasila karangan Yudi Latif hal.55-67.
[3] Yudi Latif, Negara Paripurna:Historitas, Rasionalitas, dan Aktualitas Pancasila, Gramedia Pustaka Utama: Jakarta, 2011, hal. 55.
[4] Ibid. hal.65.
[5] Ibid. hal. 63.
[6] Ibid. hal. 56.
[7] Ramon Maiz dan Ferran Requejo; Democracy, Nationalism, dan Multiculturalism; New York: FRANK CASS PUBLISHERS; 2005, hal. 13.
[8] Andrik Purwasito, Komunikasi Multikural, Muhammadiyah University Press, Surakarta, 2003, hal. 49.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar