Senin, 12 Desember 2011

Søren Kierkegaard: Komitmen Hidup Manusia


Namaku Soren Aabey Kierkegaard. Aku lahir di Kopenhagen tanggal 5 Mei 1813. Aku dibesarkan dalam keluarga yang kaya dan religius. Ayahku bernama Michael Pedersen Kierkegaard, seorang Kristen yang saleh dan taat pada agama. Ibuku bernama Ane Sørensdatter Lund Kierkegaard. Peran ayah sangat penting memberi warna keriligiusan dalam kelurga. Ia adalah seorang pria yang tegas dalam pendiriannya. Oleh karena itu, aku menjadi seorang yang religius dan taat pada perintah perintah agama.
Kehidupanku di masa mudaku penuh dosa. Aku pernah menghamili ibuku sendiri. Itu sebuah aib atau kutukan bagiku dan aku pantas menerima hukuman. Lima dari tujuh anakku meninggal sebelum aku berusia tiga puluh tahun. Perjalanan hidupku yang pahit dan tragis ini membuat aku untuk mencari jawaban atas persoalan-persoalan hidup yang lebih konkret tentang kesenangan, kebebasan, kecemasan, penderitaan, kebahagiaan, kesepian, harapan dan masih banyak lagi.
Aku mencoba untuk mencari jawaban lewat filsafat Hegel tentang fenomenologi roh. Hegel adalah seorang filsuf idealis. Aku tertarik dengan filsafat Hegel karena filsafatnya dapat memberikan jawaban mendalam tentang sejarah umat manusia.
Seiring berjalannya waktu, aku mulai kurang suka dengan pemikirannya itu. Pemikiran idealisnya yang sangat abstrak tidak dapat menjawab persoalan hidup yang kualami. Ia tidak dapat menjelaskan tentang pengalaman pahit atau kesedihanku, khususnya ketika aku kehilangan anakku yang mati. Oleh karena itu, aku mengkritik pemikiran Hegel.
Aku juga melihat bahwa pendekatan Hegel tentang fenomenologi roh pada kehidupan manusia sama dengan pendekatan yang dilakukan oleh para ilmuwan. Para ilmuwan mencoba untuk mendapatkan kebenaran ilmiah secara obyektif lewat penelitian. Pendekatan Hegel tentang manusia menggunakan pendekatan obyektif. Hegel mereduksi individu manusia pada kawanan tertentu.
Pendekatan Hegel membuat manusia hanya sebagai penonton atas kehidupan manusia lainnya. Manusia sebenarnya merupakan aktor langsung. Manusia tidak langsung mempunyai keterlibatan dan komitmen tertentu dalam setiap peristiwa yang dialaminya. Oleh karena itu, individu tidak bisa berperan sebagai pengamat obyektif yang hanya mengamati. Ia berperan aktif dalam setiap kejadian yang dilihat atau dialaminya.
Aku berpikir bahwa pendekatan obyektif sangat berbahaya diterapkan pada ilmu-ilmu manusia. Pendekatan obyektif membuat manusia terkotak-kotak pada sebuah generalisasi tertentu yang dibuat oleh para peneliti tertentu. Pendekatan obyektif mengabaikan atau mengorbankan setiap keunikan manusia, yang merupakan gejala-gejala manusiawi yang konkret dan individual. Manusia merupakan mahluk individual, personal dan subyektif. Manusia tidak dapat direduksi pada hal-hal tertentu. Maka, aspek subyektifitas sangat penting dalam diri manusia.
Aku juga berpikir bahwa persoalan obyektifitas dan abstraksi menyangkut masalah moral. Moralitas masyarakat telah menjadi obyektif. Hal ini nampak dari kecenderungan masyarakat menerima langsung aturan tanpa kritis dan hanya ikut-ikutan saja. Penilaian baik moral bukan pada dirinya sendiri tetapi atas kesepakatan bersama atau umum. Oleh karena itu, manusia membutuhkan kebebasan dan tanggung jawab.
Kebebasan dan tanggung jawab adalah hal inti dalam eksistensi manusia. Kebebasan dan tanggung jawab saling terhubung satu sama lain dan diperjuangkan oleh setiap manusia. Manusia bebas memilih sesuai dengan pertimbangan dan bertanggung jawab atas pilihannya itu. Kebebasan dan tanggung jawab manusia didukung oleh suatu antuasiasme, garirah, semangat dan keyakinan pribadi yang dilandasi kehendak bebas dan afeksi.
Aku membuat suatu teori tentang eksistensi manusia. Teori itu aku berikan dialektika eksistensialis. Dialektika eksistensialis mempunyai tiga tahap, yaitu: tahap estetis, tahap etis dan tahap religius. Tahap-tahap ini menggambarkan perkembangan religiusitas manusia sebagai bagian dalam eksistensi manusia.
Tahap estetis adalah tahap manusia masih memiliki orientasi pada kesenangan-kesenangan. Manusia masih dikuasai oleh nafsu-nafsu seksual, kesenangan-kesenangan hedonistik dan bertindak menurut suasana hati. Manusia seperti ini tidak mempunyai passion, antusiasme, komitmen, dan keterlibatan tertentu. Ia hanya mencari kesenangan terus menerus, hidup tanpa jiwa, tidak mempunyai pegangan, dan menjadi penonton yang obyektif.
Pada masaku, Don Juan adalah model yang ideal tahap estetis ini. Ia hidup sebagai hedonis yang tidak mempunyai komitmen dan keterlibatan (cinta dalam perkawinan) apapun dalam hidupnya. Ia hidup untuk dirinya sendiri. Contohku ini juga berlaku bagi mereka yang hidupnya hanya mengikuti arus dan mencari kesenangan semata.
Tahap kedua adalah tahap etis. Tahap etis merupakan tahap manusia dapat menerima kebajikan moral, mengikatkan diri, dan menghayati nilai-nilai kemanusiaan yang universal. Manusia pada tahap ini tidak tergantung pada masyarakat atau konformis. Ia mempunyai keputusan dalam hidup yang didasarkan pada nilai-nilai kemanusiaan yang lebih tinggi. Ia sadar akan peran dan otonominya sebagai individu.
Aku mempunyai tokoh yang cocok pada tahap ini yaitu Sokrates. Bagiku, Sokrates adalah contoh yang ideal pada tahap etis. Ia berbicara kebenaran tentang manusia dan berani mati dengan minum racun. Socrates hidup untuk nilai-nilai kemanusiaan yang jauh lebih tinggi.
Tahap ketiga adalah tahap religius. Tahap religius adalah tahap manusia tidak lagi terikat pada nilai-nilai kemanusian (etis) dan tuntutan masyarakat (estetis). Tahap ini adalah tahap tertinggi dalam eksistensi manusia. Tahap ini menekankan keyakinan subyektif pada iman dan bersifat transenden. Manusia berusaha bersatu dengan Tuhan meskipun caranya sering tidak masuk akal. Manusia butuh kekuatan lebih untuk sampai pada tahap ini. Contoh idealku pada tahap religius ini adalah Abraham. Ia bersedia mengorbankan anaknya atas keyakinan imannya, bahwa Tuhan-lah yang memerintahkan untuk mengorbankan anaknya itu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar