Etika Max Scheler adalah etika
nilai. Nilai itu bersifat material dan apriori. Nilai itu material karena nilai
itu mempunyai isi atau kualitas, dan nilai itu apriori karena nilai itu telah
ada dan didapat sebelum pengalaman terjadi (aposteriori). Pengalaman hanya
menjadi sebuah sarana realisasi nilai-nilai. Lebih lanjut, manusia dalam
hidupnya mencari nilai-nilai tertinggi dalam hidupnya dan bukan manusia pembuat
nilai itu. Ia mendapat nilai-nilai itu dari fenomenologi atau realitas yang ada
karena nilai-nilai itu menampakkan dirinya. Cara menangkap nilai itu bukan
dengan pikiran tetapi dengan perasaan intensional. Konsekuensi dari pencarian
nilai itu adalah pencarian nilai-nilai dalam manusia melahirkan kewajiban untuk
mencapai nilai.
Etika Jean Paul Sartre adalah
etika eksistensialis. Etika eksistensialis merupakan sebuah etika yang
memandang pribadi manusia sebagai subyek bukan obyek. Sartre melihat bahwa ada
dua dimensi dalam moralitas yaitu keterarahan pada orang lain dan tanggung
jawab. Manusia yang selalu terarah pada orang lain melakukan sikap yang
seharusnya pada orang lain. Sikap seharusnya ini merupakan wujud tanggungjawab
dalam etika. Bagi Sartre, pribadi manusia dipandang sebagai pribadi yang unik.
Unik berarti aku lain dari yang lain. Aku ada untuk bukan karena orang lain
menganggap aku ada, tetapi karena aku ada sepenuhnya. Jika aku ada karena orang
lain menganggap aku ada, maka aku adalah obyek dan orang lain mencuri dunia
dari aku untuk dijadikan sebgai konsep atau pikiran mereka. Oleh karena itu,
aku bertanggung jawab atas diriku sendiri
Etika Emmanuel Levinas adalah
etika tanggung jawab pada orang lain. Levinas berbeda dengan pemikir etika yang
lain. Levinas tidak bertanya tentang prinsip-prinsip moral yang ada, tetapi
tentang sebuah sikap manusia yang didorong oleh sebuah simpul etis. Simpul etis
merupakan tanggung jawab terhadap sesama. Tanggung jawab terhadap sesama
merupakan tanggung jawab primordial. Tanggungjawab primordial ini ingin
menunjuk kepada kesadaran manusia yang tenggelam dalam hiruk pikuk kesibukan
sesaat. Kesadaran yang dimaksud Levinas adalah kesadaran sehari-hari manusia
dalam segala pengalaman aktifitasnya yang terus berulang sehari-hari. Akibat dari kesibukan sesaat adalah
manusia lupa akan perhatian dan keprihatinannya kepada sesama (manusia lupa
akan sekitarnya).
Etika Joseph Fletcher adalah
etika situasi. Etika situasi merupakan etika yang menekankan bai dan buruknya
suatu tindakan berdasarkan situasi yang ada saat itu. Fletcher menolak
norma-norma moral umum yang bersifat obyektif. Norma-norma moral umum ini
menimbulkan kewajiban moral. Bagi Fletcher, moral tergantung dari situasi
konkret tertentu yang unik dan tidak akan terulang. Moralitas merupakan
tanggung jawab masing-masing pribadi dan yang mengetahui baik-buruknya moral
hanya orang itu sendiri dan situasi dimana ia berada saat itu. Contohnya adalah
berbohong itu baik atau buruk tergantung dari situasi tertentu. Oleh karena
itu, norma moral harus dilakukan dan dipertanggungjawabkan dengan cinta kasih.
Etika Hans Jonas dikenal
sebagai etika kepedulian akan masa depan. Hans Jonas berpendapat bahwa gaya
hidup manusia dapat mengancam kelanjutan kehidupan manusia di masa depan. Gaya
hidup yang dimaksud adalah usaha manusia untuk pemenuhan kebutuhannya dan usaha
untuk mengatasi keterbatasannya. Cara manusia memenuhi kebutuhan dan mengatasi
keterbatasannya adalah dengan menciptakan teknologi. Akan tetapi, manusia saat
ini tidak dapat lagi mengendalikan teknologi sehingga muncul suatu kekawatiran
dan ketakutan bahwa teknologi dapat merusak alam dan membunuh manusia. Hans
Jonas menekankan sebuah sikap tanggung jawab atas keutuhan kondisi-kondisi
manusia di masa depan. Ia mengajak pada pada semua orang untuk berpikir situasi
masa depan. Dia mengajak manusia untuk mempunyai sikap takut dengan
membayangkan kengerian di masa depan. Oleh karena itu, manusia yang hidup saat
ini harus mengubah cara hidupnya.
Etika Alasdair Macintyre
sering disebut sebagai etika pembalikan terhadap etika pencerahan. Bagi
Macintyre, masa pencerahan telah gagal memberi rasionalitas pada moralitas.
Rasionalitas yang dimaksud adalah manusia dengan kemampuan akal budinya telah
membuang atau melupakan teleologis atau tujuan manusia. Hal yang seharusnya
terjadi adalah manusia dengan kemampuan rasionalnya mampu mencapai tujuan
hidupnya. Akibatnya manusia
tidak mengikuti norma-norma sebagai sarana untuk mencapai tujuan. Maka
pertanyaan yang muncul adalah aku ingin manjadi manusia macam apa? Pemikiran Macintyre
mengisyaratkan bahwa etika dan manusia saat ini harus kembali ke teleologisnya
dengan menjadi manusia utama. Etika adalah soal ajaran tentang cara hidup
manusia untuk mencapai diri secara utuh dan etika harus kembali pada keutamaan
manusia. Nilai-nilai moral harus dipatuhi manusia untuk dapat mencapai
tujuannya. Nilai-nilai moralitas mendapat rasionalitasnya di dalam budaya,
karena rasio moralitas ada di dalam setiap budaya manusia hidup. Oleh karena itu, jadilah manusia utama
dengan rasio moralitas yang ada dalam setiap budaya.
Etika Jurgen Habermas dikenal
sebagai diskursus. Habermas berpendapat bahwa nilai moral bersifat obyektif
bukan karena kesadaran manusia tetapi karena moral dilegitimasikan secara
rasional. Legitimasi rasional itu mengandaikan dengan adanya kesepakatan antar
individu. Kesepakatan antar individu disebut sebagai inter subyektif.
Kesepakatan itu harus bebas dari paksaan atau intervensi dari pihak tertentu.
Tujuannya adalah memastikan moralitas dapat dipertanggungjawabkan secara rasional
oleh manusia. Oleh karena itu, moralitas manusia merupakan sebuah kesepakatan
yang didasarkan pada kebebasan rasionalitas manusia yang dapat
dipertanggungjawabkan.
Tanggapan dan refleksi
Tokoh-tokoh etika di atas adalah tokoh-tokoh etika
abad ke dua puluh. Etika abad dua puluh dikenal sebagai etika kontemporer. Pola
pemikiran etika abad kontemporer berbeda dengan etika abad moderen. Para tokoh
etika moderen menitik akal budi dalam teori etika. Akan tetapi, para tokoh
etika kontemporer menitikberatkan pada kesadaran diri dan tanggungjawab sesama.
Mereka lebih banyak menentang pemikiran etika moderen khususnya pemikiran etika
Imanuel Kant yang lebih banyak berbicara tentang imperatif kategoris dan
kewajiban seseorang melakukan sesuatu.
Pemikiran
tokoh etika di atas yang menjadi minatku dan perhatianku adalah Max Scheler
dengan etika nilainya. Pendapatku adalah manusia selalu mencari nilai dalam
hidupnya. Nilai itu dijadikan tiap pribadi sebagai pegangan dan tujuan dalam
hidupnya. Akan tetapi, kadang-kadang nilai itu belum menampakkan sehingga tiap
pribadi berusaha mencapai nilai itu. Pencarian itu merupakan sebuah kewajiban
diri dan kewajiban diri merupakan sebuah komitmen diri. Oleh karena itu, butuh
sebuah kesadaran diri tentang pencarian nilai.
Etika nilai Max Scheler sangat dibutuhkan
saat ini. Kehidupan manusia terasa mekanis tanpa ada nilai-nilai yang hidup
dalam diri pribadi manusia. Di sisi lain, nilai-nilai telah mengalami
degaradasi nilai karena masyarakat mengabaikan nilai dan menganggap nilai
sebagai sesuatu yang tradisional, yang tidak berlaku lagi. Hasilnya orang hidup
dalam utopia atau tidak tahu harus melangkah dan banyak contoh korupsi yang
terjadi saat ini. Oleh karena itu, manusia perlu mencari nilai-nilai dalam
hidupnya sehingga mempunyai tujuan dan kewajiban untuk mencari nilai-nilai yang
terbaik dalam hidupnya.
Sumber: Suseno, Franz
Magnis, Etika Abad Kedua Puluh,
Yogyakarta: Kanisius: 2006.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar