Kosmologi
adalah sebuah cabang ilmu filsafat yang mempelajari alam semesta sebagai suatu
system yang rasional dan teratur.[1]
Penjelasan dalam kosmologi menggunakan term-term metafisika untuk menjelaskan
atau mempertanyakan asal, kekekalan, sifat-sifat alam semesta dan sebagainya.
Adanya penjelasan atau pertanyaan tentang asal alam semesta menunjukkan bahwa
alam semesta itu dinamis, karena ada pergerakan perubahan yang diiringi oleh waktu.
Kosmologi telah ada sejak sejak zaman Yunani kuno.
Para filsuf pada zaman itu menggunakan kosmologi untuk menjelaskan mitos-mitos
pada zamannya secara rasional. Thales adalah filsuf Yunani kuno pertama yang
menjelaskan mitos secara rasional. Ia berpendapat bahwa air merupakan arche dari seluruh alam semesta. Dalam
perkembangannya, kosmologi masih menjadi pokok bahasan yang menarik hingga saat
ini.
Santo Agustinus (354 - 430 M) adalah seorang
filsuf dan teolog yang hidup pada zaman awal abad pertengahan tepatnya pada
zaman bapa-bapa Gereja. Ia memiliki
ajaran tentang kosmoslogi. Secara umum, ajaran Santo Agustinus mengadopsi
ajaran Plato. Perbedaannya adalah ajaran Plato berhenti pada ide-ide yang ada
di Topos Uranos, sedangkan ajaran
Agustinus berpusat pada relasi dengan Tuhan.[2]
Santo Agustinus ingin mencari keberadaan Tuhan dalam ajarannnya. Santo
Agustinus mencoba untuk menggabungkan atau mengawinkan antara ajaran Plato
dengan ajaran iman Kristiani.
Pokok ajaran kosmologi Santo Agustinus adalah penciptaan
dunia dari ketiadaan atau kekosongan (creatio
ex nihilo). Secara umum, ajarannya ini ingin menunjukkan bahwa alam semesta
diciptakan oleh Tuhan dari sebuah ketiadaan. Ketiadaan atau kekosongan ini
dimengerti sebagai suatu keadaan yang tidak teratur dan tidak berbentuk. Tuhan
sungguh menciptakan alam semesta dari tidak ada menjadi ada.
Dalam pembahasan tema penciptaan ini, penulis
mengacu pada salah satu karya Santo Agustinus yaitu ”Confessions” versi Indonesia. Tema penciptaan ini terdapat dalam
kitab XI dan XII. Penulis juga memakai sumber-sumber lain untuk memperjelas
alur pemikiran Santo Agustinus tentang kisah penciptaan ini.
Latar Belakang Pemikiran Creatio ex Nihilo
Pemikiran Santo Agutinus tentang penciptaan tidak
lepas dari para pemikir sebelumnya yang juga berpikir tentang penciptaan dunia.
Ada dua hal yang mempengaruhi pemikiran Santo Agustinus. Pertama, ia hidup pada zaman yang kuat akan ajaran
paganisme dan arianisme. Kedua, ia pernah menjadi seorang anggota Manikheis.
Dua pengaruh inilah yang membuat Santo Agustinus untuk mencari kebenaran
tentang penciptaan dunia.
Plotinus, seorang pemikir pagan menjelaskan
penciptaan dunia dengan teori emanasi. Teori emanasi adalah teori yang
menjelaskan bahwa penciptaan dunia terjadi karena Tuhan mengurangi atau merubah
dirinya sendiri menjadi dunia. Sifat Tuhan meleleh menjadi alam semesta. Tuhan
bukanlah sebuah prinsip free act yang
menciptakan alam semesta. Tuhan hanya ditempatkan sebagai postulat dalam
pikiran yang harus mereduksi dirinya sendiri.
Santo Agustinus melihat kesalahan dalam teori
emanasi ini. Ia melihat bahwa Tuhan dalam teori emanasi ditempatkan sebagai
sebuah materi yang meleburkan diri untuk menciptakan hal lainnya. Tuhan
adalah hal yang spiritual yang melebihi materi. Ia merupakan free act dalam menciptakan alam semesta.
Oleh karena itu, ia menyatakan bahwa Tuhan menciptakan dari ketiadaan menjadi
ada, bukan Tuhan yang meleburkan diri untuk menghasilkan sesuatu.
Santo
Agustinus lalu mencari pembuktian tentang pendapatnya ini. Ia menemukan
pembuktian teorinya lewat Kitab Kejadian bab I bukan pada ajaran neo-platonisme.
Kitab kejadian merupakan salah satu kitab dalam Perjanjian Lama (Old Testament) yang masuk dalam kumpulan
kitab Torah atau Pentateuk. Pada bab satu dan dua dalam kitab ini memang berisi
tentang kisah penciptaan. Santo
Agustinus lebih khusus menafsirkan kisah penciptaan kitab kejadian bab 1.
“In the beginning God created the
heavens and the earth.
Now the earth was a formless void,
there was darkness over the deep,
and God’s spirit over the water” (Gen 1:1-3)
Ada dua kerangka besar pemikiran dalam kitab
kejadian ini. Pertama adalah pada sabda ” In the beginning God
created the heavens and the earth” dan kedua adalah adalah “Now the earth was a formless
void,
there was darkness over the deep, and God’s spirit over the water”.
Dua kerangka ini harus dilihat
sebagai sebuah kesatuan, karena saling terkait satu sama lain. Dua kerangka ini
ada untuk sedikit mempermudah penjelasan dalam kisah penciptaan. Oleh karena
itu, pemikiran Santo Agustinus tentang penciptaan dari ketiadaan atau
kekosongan merupakan refleksi filosofi atas kitab kejadian bab satu.
Bagian kerangka pikir pertama terdapat dalam dalam
Kitab Confessions bab XI yang menekankan soal waktu dan keabadian dalam
penciptaan. Waktu dan keabadian
melibatkan urutan dalam penciptaan dan sifat dari ciptaan tersebut. Bagian
kerangka pikir kedua terdapat dalam Kitab Confessions bab XII yang
menekankan soal materi pembentuk dari langit dan bumi. Secara umum, materi ini
bukanlah benda materi tetapi benda immateri yang diciptakan oleh Tuhan.
Dalam paper ini, penjelasan tentang kisah
penciptaan akan fokus pada kerangka pikir bagian kedua. Kerangka pikir pertama
dalam kisah penciptaan akan digunakan sebagai pelengkap untuk sebuah kesatuan
dalam kisah penciptaan ini.
Penciptaan
dalam Kitab Confessions
”Engkaulah yang
dipuji oleh semua hal itu sebagai Pencipta semua hal. Tetapi, bagaimana Engkau
menjadikannya? Bagaimanakah, ya Allah, telah Kaujadikan langit dan bumi? Pasti
bukanlah di langit ataupun di bumi Kaujadikan langit dan bumi, bukan pula di
udara atau di dalam air, sebab hal-hal ini pun termasuk langit dan bumi.
Bukanlah di jagat raya Kaujadikan jagat raya, sebab jagat raya tadinya tidak
ada sebagai tempat ia dapat dijadikan, sebelum ia ia dijadikan sehingga
ada.....”[3]
Kutipan
di atas adalah awal pemikiran pemikiran Santo Agustinus tentang penciptaan
dalam Confessiones. Kutipan di atas
menunjukkan bahwa langit dan bumi tidak diciptakan di bumi atau langit dan dari
bahan-bahan yang ada di bumi atau langit. Bumi dan langit tidak dibentuk dari
air yang menjadi bagian dari bumi. Bumi diciptakan di suatu tempat lain.
Langit,
bumi, dan jagat raya diciptakan oleh Tuhan dalam suatu tempat atau entitas yang
tidak kenal oleh waktu. Hal ini disebabkan karena Tuhan abadi. Keabadian Tuhan
tidak terikat oleh waktu. Ia tetap sama baik pada masa lampau, sekarang dan
selama-lamanya.[4] Ia berada di luar waktu. Oleh karena itu, Allah tidak menciptakan apa-apa
sebelum menciptakan langit, bumi, dan jagat raya.[5]
”Itu bukan bentuk yang dapat ditanggap
dengan pikiran saja, sperti halnya kehidupan, seperti halnya keadilan, sebab di
sini urusannya dengan bahan baku baku benda-benda. Itu bukan pulabentuk yang
dapat ditanggap dengan indera, sebab di dalam apa yang ’belum berbentuk’ dan
’kosong’ itu tidak ada yang dapat dilihat atau dirasakan”[6]
Tuhan membuat
langit dan bumi dari materi tanpa bentuk.[7] Materi itu ciptaan Tuhan
tetapi bukan materi yang dapat dipegang, dirasa, dilihat, maupun dipikirkan. Hal ini mempunyai kaitan dengan kata ’tanpa bentuk’. ’Tanpa bentuk’
mempunyai suatu keadaan yang belum berbentuk dan kosong. Oleh karena itu,
materi tanpa bentuk merupakan sesuatu yang diciptakan oleh Tuhan dalam keadaan
tidak berbentuk dan kosong.
Santo
Agustinus memberikan analogi untuk mengerti materi tanpa bentuk. Materi tanpa
bentuk diibaratkan bagai bunyi dan lagu. Bunyi telah ada sebelum lagu. Lagu terbentuk dari bunyi. Bunyi merupakan bahan baku dari lagu yang
mendahului bentuk. Oleh karena itu, lagu itu berada dalam di dalam bunyinya
sendiri karena bunyi itu telah mendapat bentuk supaya mendapat bentuk.[8]
Kaitan
antara materi tanpa bentuk dengan analogi bunyi dan lagu adalah materi tanpa
bentuk merupakan bahan baku dari langit, bumi, dan jagat raya. Materi ini telah
ada sebelum bentuk sehingga tanpa bentuk
disebut sebagai suatu kedaan yang belum berbentuk dan kosong. Lebih
jauh, materi membutuhkan bentuk-bentuk untuk membentuk benda-benda yang ada di
langit, bumi, dan jagat raya ini.
Rationes Seminales
Kisah
penciptaan dunia merupakan keseluruhan produk kegiatan Ilahi.[9] Hal ini disebabkan karena
dalam penciptaan dari ketiadaan atau kekosongan Tuhan merupakan pencipta segala
sesuatu. Alam semesta berasal dan bergantung pada Tuhan.
Tuhan dengan kreatifitasnya menciptakan langit dan bumi serta segala hal yang
ada di dalamnya.
Kisah penciptaan
dari ketiadaan atau kekosongan mengenalkan kita pada ajaran rationes seminales atau benih-benih
pikiran. Rationes seminales merupakan benih dari sesuatu yang berkembang dalam
rangkaian waktu yang tidak kelihatan, penuh potensi, dan penyebab dalam segala
sesuatu yang telah dibuat untuk menjadi tetapi tidak harus dibuat.[10] Rationes
seminales ini memakai analogi benih yang terus bertumbuh dan berkembang. Rationes seminales mengandaikan adanya ’benih’
yang belum sempurna dari kemanjuran penciptaan.[11]
Rationes
seminales ini mempunyai kaitan dengan kitab kejadian dan kitab confessions. Rationes seminales dalam kitab kejadian
adalah a formless void dan dalam
kitab confessions adalah materi tanpa bentuk. Rationes seminales ini
mengandaikan telah ada materi sebagai
bahan baku yang membutuhkan bentuk-bentuk lain untuk membuat benda-benda lain
menjadi nyata. Distingsi atau pembedaan antara materi dan bentuk memberikan
pernyataan bahwa bentuk merupakan sesuatu hal yang lebih penting daripada
materi.
Menurut
Santo Agustinus, ada dua macam pengertian tentang materi tanpa bentuk atau a matter formless void. Pertama adalah
materi yang sungguh tidak mempunyai bentuk atau matter absolutly formless.[12]
matter
absolutly formless mempunyai arti bahwa Tuhan menciptakan alam semesta dari
materi yang sungguh tidak mempunyai bentuk atau ketiadaan atau kekosongan.
Dalam confession Santo Agustinus menulis:
”Yang lain sedemikian tanpa bentuk, hingga tak mampu beralih dari satu
bentuk apa pun ke bentuk lain apa pun, baik bentuk gerak, ataupun bentuk
perhentian, sehingga akan dibuat takluk oleh waktu”[13]
Kedua
adalah materi yang kekurangan bentuk atau matter
with basic form.[14] Materi itu diciptakan
oleh Tuhan dengan mempunyai bentuk dasar. Materi itu memerlukan bentuk yang
lain agar semakin terbentuk dengan nyata. Materi dasar itu merupakan sesuatu
yang telah menjadi. Dalam Confessions Agustinus menuliskan:
”Yang satu terbentuk sedemikian rupa
hingga hal itu – tanpa sedikit pun berkurang pengamatannya, tanpa tersela oleh
karena suatu perubahan bentuk – menikmati keabadian-Mu dan sifatMu yaitu bahwa
Engkau tidak berubah-ubah.”[15]
Agustinus
memakai dua pengertian di atas untuk menjelaskan materi tanpa bentuk. Tafsiran
Santo Agustinus ini merupakan eksegese atas kerangka pikir kedua kitab
kejadian. Oleh karena itu, pada kerangka pikir kedua formless dijelaskan sebagai sebuah kekosongan dari sebuah materi
yang diciptakan oleh Tuhan.
Konsekuensi
yang terjadi dalam kisah penciptaan dari ketiadaan atau kekosongan adalah Tuhan
merupakan pencipta dari segala sesuatu. Deus Creator Omnium. Tuhan merupakan prinsip yang harus dan
telah ada. Ia adalah abadi. Ia merupakan saat ini dan aktif dalam seluruh
proses yang terjadi.[16] Ciptaannya tidak abadi
karena segala ciptaannya keluar dan bergantung padaNya. Segala sesuatu dalam
benda menemukan tindakannya (action)
dan dirinya (being) dalam Tuhan. Oleh
karena itu, harus ada dan hanya satu Tuhan dalam penciptaan karena dalam Tuhan segala
sesuatu berada.
Tanggapan Penulis
Ada
tiga tanggapan penulis terhadap pemikiran Santo Agustinus tentang creatio ex nihilo. Pertama adalah tidak
adanya pembedaan yang tegas antara matter dan form. Santo Agustinus hanya
menyebutkan materi tanpa bentuk. Konsep materi tanpa bentuk terlalu abstrak
bagi pikiran manusia, sehingga pikiran manusia tidak dapat menggambarkan,
membayangkan atau mengimajinasikan materi tanpa bentuk yang dimaksud oleh Santo
Agustinus
Kedua
adalah konsep penciptaan rationes seminales
Santo Agustinus berbeda dengan konsep penciptaan Santo Thomas Aquinas. Teori
Santo Thomas Aquinas adalah teori Hylomorphism.
Teori ini menekankan penciptaan dari
satu matter dan satu form. Matter dan form adalah konsep metafisika dalam penciptaan yang sama-sama penting.
Tidak ada benda nyata jika tidak mempunyai matter
atau form. Matter dan form merupakan
sebuah prinsip kesatuan yang harus ada dalam benda-benda realitas dunia.
Ketiga
adalah permasalahan pada pengertian kedua kata formless. Materi itu diciptakan oleh Tuhan dengan mempunyai form
atau bentuk dasar. Hal ini mempunyai pengertian bahwa materi itu mempunyai
sifat yang abadi dengan Tuhan. Seharusnya, benda-benda atau segala sesuatu yang
berasal atau ciptaan Tuhan tidak abadi. Apakah materi itu Tuhan sendiri atau
sesuatu yang dekat dengan Tuhan yang mempunyai sifat yang sama yaitu abadi.
Sumber
Bagus, Lorens, Kamus Filsafat, Jakarta: Gramedia, 2005.
Copleston, Frederik, A
Hostory of Philosophy, Vol.II, From Augustine to John Don Scotus, New York: Doubleday, 1993.
O’Connor ,D.J., A
Critical History Of Western Philosophy, New York: The Free Press, 1964.
St.
Agustinus diterjemahkan Arifin, Winarsih dan End, Dr. Th. Van den, Agustinus: Pengakuan-Pengakuan (terjemahan
dari Confessiones), Yogyakarta:
Kanisius, 2008.
[1]
Lorens
Bagus, Kamus Filsafat, Jakarta:
Gramedia, 2005, hal. 499.
[2] Frederik Copleston, A Hostory of Philosophy, Vol.II, From Augustine to John Don Scotus, New York: Doubleday, 1993, hal. 74
[4] Confessions XII, VII, 7.
[5] Confessions XI, VI, 8.
[6] Confessions XII, V, 5.
[7] Confessions
XII, XII, 31.
[8] Confessions
XII, XXIX, 40.
[9]
D.J. O’Connor, A Critical History
Of Western Philosophy, New York:
The Free Press, 1964, hal. 93.
[10]
“Rationes
seminales are germs of things invisibly, potentially, causally in the way that
things are made which are to be but have not yet been made.” Copleston, 1993, hal.76.
[11] D.J. O’Connor, 1964, hal. 96.
[12] Copleston, 1993 , hal. 75.
[13] Confessions,
XII, XII, 5.
[14]
Copleston, 1993 , hal. 75.
[15]
Confessions, XII, XII, 5.
[16]
D.J. O’Connor, 1964, hal. 96.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar